JAKARTA - Pengusaha rokok mengeluhkan kenaikan cokok rokok yang terlalu tinggi sebesar 23 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) 35 persen. Bila rencana ini jadi direalisasikan pemerintah pada tahun depan, sedikitnya ada 254 pabrik rokok di wilayah Jawa Timur yang akan terancam gulung tikar. Menanggapi hal itu, DirekturRiset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia,PieterAbdullah mengatakan, meragukan kekhawatiran para pengusaha atau perusahaan rokok akan bangkrut. Menurut dia, kenaikan rokok masih terbilang wajar. "Saya tidak yakin 254 pabrik rokok akan gulung tikar. Kenaikan cukai tidak akan signifikan mengurangi konsumsi rokok. Mereka bisa jadi pindah ke rokok yang lebih murah atau bahkan rokok ilegal. Pabrik-pabrik memang akan menghadapi penurunan penjualan karena penurunan pembelian. Tapi tidak akan sampai mengakibatkan kebangkrutan," ujar Pieter kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Minggu (22/9). "Isu yang paling penting menurut saya dari cukai bukan bahaya kebangkrutan pabrik rokok. Tapi kualitas konsumsi masyarakat akan memburuk," imbuh dia. Sementara Wakil Ketua Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Abdillah Hasan menuturkan, terkait kenaikan cukai rokok Kementerian Keuangan (Kemenkeu), ada tiga aspek dalam kebijakan cukai yaitu pengendalian konsumsi (kesehatan), penerimaan negara dan pengaturan industri. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, menyitir bahwa prevalensi merokok usia 10-18 tahun meningkat dari 7 persen (2013) menjadi 9 persen (2019). "Kondisi ini menjauh dari target RPJMN 2014-2019 yaitu di angka 5.4 persen. Menkeu juga menekankan meningkatnya konsumsi rokok di perempuan. Ini hal yang bagus, di mana pertimbangan utama kenaikan cukai rokok adalah tujuan pengendalian konsumsi," ujar dia kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Minggu (22/9). Lanjut dia, sementara aspek penerimaan negara dan pengaturan industri adalah prioritas berikutnya. Kenaikan 23 persen tarif cukai rata-rata dan 35 persen harga jual eceran rata-rata, menilik dari tingkat inflasi ditambah dengan pertumbuhan ekonomi selama 2 tahun (2018-2019) totalnya sekitar 17 persen. Sedangkan kenaikan harga rata-rata yang diumumkan adalah 35 persen. Seharusnya kenaikan harga rata-rata ini cukup untuk mengerem konsumsi rokok di kalangan anak-anak dan mereka yang berpenghasilan rendah. "Namun rincian kebijakan ini perlu dikawal agar efektif dalam menurunkan konsumsi rokok. Karena angka 23 persen dan 35 persen adalah rata-rata, maka perhatian perlu difokuskan pada jenis rokok mana yang tarif cukainya naik paling tinggi. Kami sebenarnya mengharapkan agar angka 23 persen kenaikan tarif cukai dan angka 35 persen kenaikan HJE merupakan kenaikan minimal untuk semua jenis rokok. Menurut dia, agar tujuan pengendalian konsumsi rokok dan peningkatan penerimaan negara efektif, maka kenaikan tertinggi cukai rokok harus dikenakan kepada jenis rokok yang memiliki pangsa pasar terbesar yaitu sigaret kretek mesin (SKM) terutama SKM golongan 1 dengan produksi di atas 3 miliar batang per tahun. Pangsa pasar SKM 1 63 persen, jika pemerintah ingin menurunkan konsumsi rokok di kalangan anak-anak di mana produk SKM 1 populer di kalangan mereka, maka pemerintah harus menaikkan tarif cukai dan harga eceran SKM 1 tertinggi di antara yang lainnya. Dia mengggarisbawahi bahwa harga rokok per bungkus saat ini antara 5 ribu-25 ribu masih jauh dari harga yang dianggap perokok akan bisa menurunkan konsumsi atau menghentikan kebiasaan merokoknya. Survei dari PKJS UI menunjukkan bahwa harga yang dapat menurunkan konsumsi rokok adalah Rp60-70 ribu per bungkus. Bahkan harga rokok termahal pun masih jauh dari harga tersebut. "Saya prediksi harga termahal setelah kenaikan cukai ini, akan berada di kisaran 35 ribu per bungkus. Ini masih setengah dari harga yang menurunkan konsumsi. Kami berharap pemerintah fokus pada harga rokok SKM 1 agar mendekati Rp60ribu per bungkus. Kami yakin Presiden Jokowi melindungi anak-anak dari terkaman industri rokok," ucap dia. Sebelumnya, pengusaha rokok yang tergabung dalam Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Gabungan Perusahaan Rokok GAPERO Surabaya dan GAPERO Malang kecewa dan sangat menyesalkan sikap pemerintah dengan menaikkan Cukai sebesar 23 Persen dan HJE 35 Persen. Pasalnya kenaikan cukai rokok yang dianggap terlalu tinggi itu akan berdampak ratusan pabrik rokok bangkrut di Jawa Timur. "Kami tidak menolak kenaikan cukai rokok, namun setidaknya kenaikan yang ditetapkan pemeirntah adalah 10 persen di setiap tahunnya. Apabila masih juga dinaikkan, maka ada sekitar 254 pabrik rokok di Jatim yang gulung tikar karena volume produksi menurun sebesar 15 persen," ujar Ketua GAPERO Surabaya, Sulami Bahar. Para pengusaha juga kecewa kepada pemerintah karena tidak ikut dimintai masukan terkait regulasi kenaikan cukai rokok. Kata Sulami, dampak kenaikan cukai rokok akan terjadi rasionalisasi karyawan di pabrik karena akan disesuaikan dengan kondisi perusahaan. "Rokok ilegal akan kembali marak dan karena harga rokok yang mahal maka orang akan lebih memilih meliting rokok sendiri. Padahal dalam dua tahun ini rokok ilegal sudah menurun karena gencarnya penindakan juga dikarenakan kebijakan cukai dan HJE yang moderat beberapa tahun terakhir," ucap dia. Harapan para pengusaha, sebelum membuat regulasi harus bisa memberikan kepastian hukum dan sebaliknya jangan membuat regulasi mematikan industri. "Seharusnya pemerintah juga mencari produk-produk lain yang bisa dikenakan cukai salah satunya adalah handphone. Karena handphone juga bisa menyebabkan kencanduan sehingga layak dikenakan cukai juga," pungkasnya.(din/fin)
254 Pabrik Rokok Terancam Gulung Tikar
Senin 23-09-2019,02:25 WIB
Editor : ME
Kategori :