TEMANGGUNG - Petani tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mendesak pemerintah agar segera menerapkan Permentan 23/2019, guna melindungi petani tembakau dari segala bentuk rongrongan. \"Secepatnya paling lambat awal bulan ini sudah bisa ditetapkan. Di situ kan diatur, untuk bisa impor, harus serap tembakau lokal dua kali lipat dari kuota impor,\" kata Ketua DPP APTI Nasional Agus Parmudji forum diskusi di Kampoeng Sawah, Temanggung, Senin (2/9). Hadir dalam diskusi terbatas tersebut, Pengamat Kebijakan terkait Pertanian cum Guru Besar Fakultas Pertanian Insitut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dwi Andreas Santoso dan Sekretaris II DPP APTI, Agus Setiawan. Hadir pula perwakilan para petani tembakau di Temanggung. Parmuji menambahkan, saat ini saja posisi petani tembakau sudah tidak diuntungkan dalam hal pembatasan kuota impor tembakau. Pihak-pihak berwenang tak segera mengekskusi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) 23/2019 tentang rekomendasi teknis impor tembakau, dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 84/2017 tentang ketentuan impor tembakau. \"Rekomendasi izin teknis impor tembakau (Permentan 23/2019) dan Permendag 84/2017 itu harus segera dilaksanakan, karena ini sudah musim panen tembakau. Kalau tak dilaksanakan, maka yang paling berdosa atas hancurnya ekonomi petani tembakau ini adalah kementrian pertanian dan kementrian perdagangan,\" tuturnya. Tidak hanya itu Agus mengatakan, saat ini petani tembakau di Kabupaten Temanggung secara bulat menolak terhadap rencana pemerintah untuk melakukan simplifikasi atau penyerdehanaan cukai rokok. Bila simplifikasi cukai diterapkan, itu bisa menjadi kiamat ekonomi bagi para petani. \"Dengan simplifikasi, tentu yang diuntungkan adalah perusahaan rokok dengan brand internasional, di mana produk-produknya sangat-sangat sedikit menggunakan tembakau lokal hasil panen petani. Bila itu diterapkan, bisa menjadi kiamat ekonomi bagi petani tembakau,\" tuturnya, dalam Dituturkan, usulan simplifikasi cukai berdasar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 156/2018, memang sudah seyogyanya dihapuskan pemerintah. Menrutnya, simplifikasi cukai, pula akan merugikan perusahaan-perusahaan rokok yang menjual produk-produk kretek. Selama ini, kretek dikenal merupakan produk rokok asli Indonesia. \"Pabrik-pabrik rokok yang masih merah-putih, NKRI, akan digerus oleh perusahaan rokok asing atau yang telah dikuasai asing,\" tegasnya. Alih-alih simplifikasi, APTI justru mendorong pemerintah untuk menerapkan disparitas cukai rokok, berdasarkan komponen muatan tembakau lokal dan impor. Menurutnya, rokok berkonten lokal minim sudah selayaknya dikenakan cukai lebih tinggi. \"Ini demi kedaulatan tembakau nasional,\" ujarnya. Sementara itu, Andreas, mengatakan sejatinya potensi ekonomi pertembakauan sangat menjanjikan. Hanya, dalam beberapa waktu belakangan, pergeseran kebijakan membuat potensi ini sedikit bergeser. \"Dan yang paling tak diuntungkan dalam pergeseran ini adalah para petani,\" ujarnya. Dituturkan, saat ini kebutuhan bahan baku untuk industri hasil tembakau (IHT) sekitar 330.000 ton tembakau kering. Menurutnya, dari kebutuhan itu sekitar 30 - 50 persennya dipenuhi oleh impor. Di sisi lain, produksi tembakau lokal di kisaran 200.000 ton tembakau kering. \"Indonesia merupakan penghasil tembakau terbesar kelima di dunia. Nomor satu China, lalu India, Brasil, dan Amerika,\" ujarnya. Ia mengatakan, yang perlu diwaspadai adalah politik dagang internasional. Menurutnya, politik dagang internasional akan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan petani. \"Perlu diingat, tak ada satupun kebijakan impor yang menguntungkan petani,\" urai Andreas. (set)
APTI Desak Pemerintah Terapkan Permentan 23/2019
Selasa 03-09-2019,02:52 WIB
Editor : ME
Kategori :