Dianggap Kuras APBD, DPRD-KPU Wonosobo Minta Pemerintah Pusat Tanggung Biaya Pilkada

Kamis 14-11-2019,02:51 WIB
Editor : ME

MAGELANGEKSPRES.COM,WONOSOBO- Komisi  A DPRD Wonosobo bersama Komsioner KPU Wonosobo, Kepala BPPKAD, dan Kepala Bappeda mendesak pemerintah pusat untuk menaggung biaya pilkada. Pasalnya anggaran pilkada dianggap menguras APBD Wonosobo tahun 2020. Tidak hanya aspirasi terkait biaya pilkada langsung, DPRD juga meminta  tambahan penghasilan tetap kepala desa, sekretaris desa dan perangkat desa agar ditanggung pemerintah pusat. “Terus terang kami keberatan, jika besarnya anggaran pilkada langsung  semuanya dibebankan kepada daerah,” ungkap Ketua  Komisi A DPRD Wonosobo  Suwondo Yudhistiro usai gelar kunker ke Komisi II DPR RI di Gedung Nusantara Jakarta. Baca Juga Kecelakaan di Wonosobo, Motor Tabrak Truk Pengangkut Batu, Tak Ada Korban Jiwa Menurutnya, besarnya biaya pilkada langsung yang harus dibiayai Kabupaten Wonosobo tahun 2020 yang mencapai Rp 57 milyar. Pilkada langsung ini sangat membebani daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020 di seluruh Indonesia. Semua mengeluhkan tentang besarnya biaya pilkada langsung yang semua dibebankan kepada daerah. “Hal ini berdampak secara langsung pada tidak teranggarkannya program-program pembangunan yang menjadi prioritas daerah seperti pembangunan infrastruktur seperti jalan, pasar, sekolah, rumah sakit, penanggulangan kemiskinan dan  berbagai program prioritas lain,” tandasnya. Terkait hal itu, pihaknya  mohon agar biaya pilkada langsung jangan dibebankan kepada daerah tetapi dibiayai oleh APBN, minimal ada sharing anggaran antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. “Kalau tidak bisa maka lebih baik pilkada dikembalikan saja kepada DPRD, karena biaya penyelenggaraan mahal, bagi para calon juga harus mengeluarkan biaya yang bermiliar-miliar rupiah untuk memenangkan kontestasi, dan hasilnya belum tentu sesuai yang diharapkan yaitu menghasilkan kepala daerah yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memajukan daerah,” ujarnya. Bahkan yang terjadi justru kepala daerah yang terpilih sibuk untuk mengembalikan dana kampanye dan persiapan dana untuk pilkada berikutnya. Akibatnya korupsi tidak bisa dihindarkan. Jadi antara anggaran pilkada dengan hasilnya sama sekali tidak seimbang. “Saya kira tidak haram bagi kita untuk kembali pada Sika Ke-empat Pancasila yang menekankan demokrasi perwakilan,”  tandasnya. Selain biaya pilkada, daerah-daerah di seluruh Indonesia juga terbebani dengan tambahan penghasilan tetap kepala desa, sekretaris desa dan perangkat desa sebagai konsekuensi telah diterbitkannya PP No 11 Tahun 2019 yang mengamanatkan pemberian penghasilan tetap bagi perangkat desa yang setara dengan PNS golongan II A. “Sebagai gambaran untuk Kabupaten Wonosobo tambahan Siltap mencapai Rp25 milyar. Semua ini juga dibebabkan ke daerah,” katanya. Belum lagi dengan telah dikeluarkannya Perpres No 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan daerah juga harus menanggung biaya tambahan peserta BPJS yang jumlahnya juga besar. “Jadi untuk biaya Pilkada, tambahan penghasilan kepala desa, sekretaris desa dan perangkat desa serta tambahan kekuarangan iuran BPJS daerah harus mengeluarkan uang sampai 100-an miliar rupiah. Ini tentu suatu hal yang sangat berat bagi daerah,”  pungkasnya. (gus)

Tags :
Kategori :

Terkait