Draf RUU Ciptaker Disembunyikan

Selasa 06-10-2020,03:11 WIB
Editor : ME

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Serikat buruh dan pengusaha berada dalam kedudukan sejajar dalam tim tripartit. Sayangnya aspirasi dari pihak buruh kerap terganjal akibat condongnya pemerintah khsusunya DPR yang lebih mengedepankan kepenting investor dibandingkan keringat bangsanya sendiri. Wajar pula setiap tahun gelaran aksi di berbagai daerah menjad sinyal perlawanan. Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie mengatakan, pemerintah dan DPR sebenarnya paham bagaimana merekstrukturisasi aturan yang ada saat ini. Pengusaha juga tahu sebenarnya apa yang layak dan pantas diberikan kepada buruhnya. ”Problemnya pemerintah tidak mengakuisisi harapan buruh lewat aturan. Sementara pengusaha terus berharap upah murah. Lalu sampai kapan kondisi ini terjadi. Nah baiknya DPR dan pemerintah belajar lagi dengan negara tetangga kita. Baik Vietnam, maupun Singapura,” terang Jerry kepada Fajar Indonesia Network (FIN) Senin (5/10). Lalu apa sebenarnya tuntutan buruh yang mendasar? Menurut Jerry tetap pada kelayakan upah, asuransi jiwa, penghentian tenaga kerja sampai aturan pailit bagi perusahaan. ”Coba sih aturan yang dibuat pro buruh dan pro pengusaha. Cek saja isi RUU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Kan tak jauh berbeda dengan usul revisi UU 13/2003,” ungkapnya. Sejak tahun 2006 lalu, lanjut dia, isi regulasi itu yang juga ditolak buruh. ”Maka baca lagi, dalam revisi itu ada banyak hak buruh yang dihapus dan tak lagi berlaku. Misalnya soal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),” jelasnya. Presiden punya kekuatan untuk merevisi dan menjadikan RUU Ciptaker lebih kuat. Ada banyak klausul itu dalam RUU Ciptaker yang bisa menjadi legitimasi dalam menciptakan iklim usaha, investasi dan kokohnya buruh di Indonesia. ”Tangan-tangan Presiden Jokowi banyak. Ada di kementerian sampai di DPR. Fungsikan itu, dan lihat progresnya. Tak ada yang mubazir jika mengedepankan tagline: buruh ada di hati,” papar Jerry. Ketua Umum KASBI Nining Elitos juga membenarkan mengapa selama ini buruh menolak peraturan yang pertama kali diungkapkan Presiden Joko Widodo tahun lalu ini. ”Ya karena isinya RUU Cipta Lapangan Kerja tidak berpihak,” timpalnya. ”Anda bisa bayangkan, para karyawan tetap yang sudah puluhan tahun mengabdi tidak lepas dari ancaman. Turunnya jumlah pesangon secara drastis atau bahkan dihapus, jelas akan membuat pengusaha tidak perlu berpikir untuk memecat karyawannya. Karyawan akan bekerja tanpa posisi tawar,” timpal Nining. RUU Cipta Lapangan Kerja membuat kontrak dan alih daya (outsourcing) diperluas baik dari segi waktu atau jenis pekerjaan, padahal dua sistem kerja tersebut meningkatkan kerentanan buruh. Belum lagi soal diubahnya sanksi jika pengusaha menghalangi buruh cuti haid, melahirkan, tidak membayar upah minimum, upah lembur, atau menghalangi buruh berserikat dan mogok, seperti yang diatur dalam UU 13/2003. ”Kalau pun dilanggar nantinya cuma dihukum sanksi administratif. Ada juga yang berupaya mengubah upah per bulan jadi dihitung per jam. Artinya buruh bukan manusia, sekadar mesin produksi. Karyawan tetap terancam jadi karyawan jam-jaman,” jelasnya. Sementara Ketua Sindikasi, Ellena Ekarahendy, mengatakan yang terdampak dari peraturan ini juga termasuk calon pekerja yang saat ini masih bersekolah. ”Para pekerja muda dan calon pekerja tidak akan memiliki jaminan kerja (job security) karena sewaktu-waktu dapat dipecat dengan mudah dan murah,” timpalnya. Kondisi ini memperparah nasib para pekerja muda dan calon pekerja yang sekarang dirugikan lewat sistem pemagangan. Sistem magang membuat mereka menerima upah jauh dari layak. Atas dasar itu semua, Gebrak mengampanyekan RUU Cipta Lapangan Kerja sebagai ”RUU Cilaka”, yang mirip dengan diksi ”celaka”. Naskah akademik dan Draf RUU Cipta Lapangan Kerja belum dapat ditemukan di mana pun. Biasanya itu akan diunggah di laman kementerian atau DPR. Namun apa yang dikhawatirkan para buruh mungkin benar-benar diakomodasi RUU Cipta Lapangan Kerja karena itu sejalan dengan evaluasi pemerintah dan pernyataan pihak-pihak terkait. Dalam Laporan Akhir Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan (PDF), Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Kemenkumham merekomendasikan sejumlah pasal dalam UU 13/2003 diubah atau dicabut. Misalnya peraturan soal outsourcing, Pasal 64-66. Disebutkan bahwa tiga pasal outsourcing pada UU 13/2003 tidak layak dipertahankan dan dibutuhkan undang-undang tersendiri tentang outsourcing. Kemudian soal cuti haid, Pasal 81, yang direkomendasikan dicabut karena dinilai kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, rasa sakit karena haid dapat dihindari dengan meminum obat anti nyeri. Apa yang dikhawatirkan para buruh juga pernah diutarakan pengusaha dan pejabat pemerintah. Misalnya soal upah dibayar per jam. Wakil Ketua Apindo Suryadi Sasmita misalnya, pada akhir tahun lalu mengatakan dengan upah per jam, para buruh sebenarnya bisa punya penghasilan lebih besar dari UMP. Kemudian soal pesangon. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pernah mengaku keberatan membayar pesangon. Menurut mereka kalau peraturan tidak diubah. Pengusaha bangkrut semua. Sementara terkait penghapusan pidana diganti sanksi administrasi diutarakan Airlangga Hartarto. Menurutnya dengan begitu ekosistem usaha lebih kondusif dan memberikan kenyamanan bagi investor. Namun Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah tetap menegaskan pemerintah tak akan meninggalkan buruh. Dalam siaran pers di laman resmi Kementerian Ketenagakerjaan, Ida mengatakan di dada kami ada buruh. Untuk diketahui Pemerintah dan DPR RI akan mengesahkan RUU Cipta Kerja dalam sidang paripurna DPR RI. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), buruh Indonesia beserta 32 Federasi Serikat Buruh lainnya menyatakan menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini. Perlawanan ini disambut para buruh akan melaksanakan mogok nasional Mulai Selasa (6-8/10). Airlangga mengklaim RUU Cipta Kerja juga memberikan peran yang jelas bagi pemerintah daerah dalam pemberian proses perizinan yang disesuaikan dengan NPSK dari pemerintah pusat serta Rancangan Tata Ruang Wilayah dan kebijakan satu peta. ”RUU ini juga memberikan perizinan berbasis risiko untuk memperkuat daya saing dan produktivitas di bidang-bidang usaha terkait serta memberikan sanksi administrasi dan pidana yang jelas terkait lingkungan hidup dan apabila terjadi kecelakaan kerja,” jelasnya. Untuk itu, pembahasan RUU yang diajukan kepada DPR sejak 7 Februari 2020 dilakukan secara serius hingga melibatkan 10 menteri terkait, pengusaha maupun serikat pekerja. Rapat pembahasan juga tercatat meliputi 63 rapat kerja maupun rapat panitia kerja. (fin/ful)

Tags :
Kategori :

Terkait