MAGELANGEKSPRES.COM, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia. Angkanya tercatat negatif 5,2 persen (yoy) atau negatif 4,9 persen (qoq). Menurut anggota DPR RI Komisi XI Ecky Awal Mucharam, rilis tersebut mengonfirmasikan bahwa Indonesia sudah diambang pintu resesi ekonomi. “Jika pada triwulan III 2020 pertumbuhan masih negatif, maka akan resmi masuk resesi dengan digenapinya pertumbuhan negatif selama dua periode kuartal berturut-turut,” ungkap Ecky di Jakarta, Kamis (6/8). Secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Semester 1-2020 dibandingkan dengan Semester I-2019 terkontraksi 1,26 persen. Ecky menyatakan Pemerintah semestinya lebih mawas diri. Ada realita pertumbuhan yang jauh lebih dalam terkontraksi dibanding proyeksi yang dikeluarkan Pemerintah dan Bank Indonesia. Yaitu pada kisaran antara 4,3 persen dan 4,8 persen. Dalam rilis BPS disebutkan PDB atas dasar harga konstan pada triwulan II-2020 sebesar Rp2.589,6 triliun. Jumlah ini, turun senilai Rp145,7 triliun dari PDB periode yang sama tahun sebelumnya. Berdasarkan lapangan usaha, terdapat lima sektor yang mengalami pertumbuhan negatif mencapai dua digit. Yaitu jasa keuangan -10,3 persen, jasa perusahaan -14,11 persen, jasa lainnya -15,12 persen, akomodasi & makan minum -22,31 persen, serta transportasi dan perdagangan -29,22 persen. “Sektor keuangan termasuk perbankan merupakan urat nadi perekonomian bagi suatu negara. Dengan melihat fakta pertumbuhan di sektor ini terkontraksi sangat dalam sampai dengan -10,3 persen, menandakan adanya kegagalan pemerintah dalam merancang desain pemulihan ekonomi atau ketidakefektifan dari langkah yang telah dijalankan,” terang Ecky. Pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nerdasarkan pengeluaran terkoreksi 4,19 persen (qtq). Dimana dari enam jenis pengeluaran secara kuartalan hanya konsumsi Pemerintah yang berada di angka positif. Tercatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat sebesar -6,51 persen (qtq), konsumsi LNPRT -0,78 persen, konsumsi Pemerintah 22,32 persen, PMTB -9,71 persen, ekspor -12,81 persen, serta impor -14,16 persen. Ecky menuturkan resesi ekonomi dilihat dari PDB pengeluaran, maka ekspor dan impor menjadi komponen yang paling signifikan terpengaruh. “Kontraksi impor yang lebih dalam dibandingkan dengan ekspor membawa dampak adanya surplus neraca perdagangan,” urainya. Menurutnya mimpi buruk yang sebenarnya adalah penurunan impor. Hal ini membawa dampak terhambatnya pergerakan industri yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perdagangan. “Sedangkan impor bahan modal akan mempengaruhi komponen investasi yang menjadi pendukung pertumbuhan ekonomi,” tandasnya. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo kembali mengkritik keras kinerja Menteri-menterinya yang lambat dalam penyerapan anggaran penanganan dampak COVID-19. Hal ini dianggap kontras dengan kebutuhan masyarakat dalam mengatasi dampak pandemi tersebut. Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengatakan, penyerapan anggaran kementerian dan lembaga diibaratkan rakyat sudah terkapar. Namun, pemerintah baru sadar. Anggota Komisi I DPR ini mendorong Presiden untuk lebih ketat mengontrol menteri agar segera merealisasikan anggaran. Terutama anggaran yang langsung dirasakan dampaknya oleh masyarakat baik sifatnya bantuan langsung maupun stimulus. Tentu harus tetap akuntabel. Anggota DPR Dapil Banten ini meminta Jokowi tidak perlu terlalu sering mengumbar kiritik keras kepada menterinya. Menurut Jazuli, yang ingin dilihat oleh masyarakat adalah aksi nyata, bukan retorikanya. “Kalau ada menteri yang dirasa tidak bisa membantu dan lambat kinerjanya direshuffle saja,” cetus Jazuli di Jakarta, Kamis (6/8). Dia setuju kritik Presiden kepada pembantunya. Tetapi jangan lupa Presiden Jokowi yang pegang kendali. “Substansi kritiknya, kita semua pasti setuju, bahwa Pemerintah lambat. PKS sudah lama mengkritik. Cara mengatasi atau menjawab kritik sepenuhnya tanggung jawab Presiden untuk mempercepat. Masyarakat luas cukup tahu hasil dan merasakan dampaknya. Sementara prosesnya ada pada kendali pemerintah dan diawasi DPR,” tambahnya. Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad menilai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bertujuan untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Menurutnya program tersebut harus dilaksanakan dengan prinsip asas keadilan sosial, serta sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Politisi Partai Gerindra ini menyebut program PEN akan mendukung pelaku usaha. Asalkan menerapkan kaidah-kaidah kebijakan yang penuh kehati-hatian. “Serta tata kelola yang baik, transparan, akseleratif, adil, dan akuntabel sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak menimbulkan moral hazard, serta adanya pembagian biaya dan risiko antar pemangku kepentingan sesuai tugas dan kewenangan masing-masing,” ujar Kamrussamad. Ia melanjutkan, pandemi memberikan efek domino pada aspek sosial, ekonomi dan keuangan. Selain itu, menciptakan krisis kesehatan. Mengingat belum ditemukannya vaksin dan minimnya alat serta tenaga medis. Dari segi sosial lanjutnya, berhentinya aktivitas ekonomi yang menyerap tenaga kerja di berbagai sektor termasuk sektor informal. “Bidang ekonomi, konsumsi terganggu, investasi terhambat, ekspor/impor terkontraksi, serta pertumbuhan ekonomi menurun tajam. Sedangkan pada bidang keuangan, terjadi penurunan kinerja sektor riil dan kredit macet atau Non Performing Loan (NPL), profitabilitas serta solvabilitas perusahaan mengalami tekanan,” terangnya.(khf/fin/rh)
Indonesia Diambang Resesi
Jumat 07-08-2020,03:13 WIB
Editor : ME
Kategori :