Ingat Tomy

Jumat 04-02-2022,11:01 WIB
Editor : ME

Oleh : Dahlan Iskan BEGITU lama saya tidak menyeberangi Selat Sunda: 10 tahun? \"8 tahun\". \"Itu hanya ke tengah laut, lalu balik lagi ke Merak. Tidak bisa disebut menyeberang\". \"Yang dengan penyanyi Syahrini dan Slank itu?\" “Iya. Waktu peresmian kapal feri terbesar kala itu.\" Kali ini saya mau menyeberang ke Lampung. Tanpa mobil. Ada yang menjemput di seberang sana. Kebetulan saya berangkat dari kantor harian Radar Banten: sudah dekat dengan Merak. Teman-teman Radar Banten itu yang mengantar saya ke Merak. Hari sudah senja. Matahari sudah memerah. Disaput pula awan tipis. Pendaran sinarnya begitu indah. Apalagi saat bersatu dengan kaca laut Selat Sunda yang lagi tenang. Di Merak, kini sudah ada dua pilihan kapal: ekspres dan reguler. Yang ekspres hanya 1 jam 20 menit. Dengan karcis Rp 65.000/orang. Yang reguler Rp 30.000/orang: 4 jam di atas laut. Saya pilih yang ekspres. Saya ingin tahu terminal barunya. Yang mirip bandara itu. Termasuk sudah dilengkapi garbarata. Maka kalau pun ada hujan tidak akan kejatuhan air langit. Masuk feri pun persis seperti masuk ke dalam pesawat. Dengan fasilitas ekspres ini rasanya memang tidak perlu lagi ada jembatan Selat Sunda. Atau masih perlu? Bahkan sangat perlu? Bukankah sudah ada tol Jakarta-Bandung masih perlu kereta cepat? Setidaknya kita pernah sangat serius membicarakan pembangunan jembatan Selat Sunda. Sampai sudah pernah diterbitkan peraturan presidennya: zaman Presiden SBY. Pun sudah pernah ada investornya: Tomy Winata. Sudah ada lembaga keuangan yang membiayainya: perbankan Tiongkok. Dan yang tidak kalah penting: sudah ada road map-nya. Dan desain teknisnya. Rasanya investor sampai sudah habis lebih dari Rp 2 triliun untuk semua persiapan itu. Dan itu uang sungguhan –bukan uangnya Akidi Tio. Begitu seriusnya Tomy saat itu, sampai ia berandai-andai dengan nyawanya: \"Kalau salah satu syarat untuk mendapat izin itu harus nyawa saya, saya akan penuhi,\" katanya suatu saat. \"Kalau setelah jembatan jadi saya harus melompat dari jembatan itu ke laut, saya akan lakukan,\" tambahnya. Waktu itu Tomy sampai mengumpulkan semua anaknya. Agar anak-anak itu ikut menandatangani syarat yang diminta bank internasional: garansi pribadi. Artinya: kalau proyek itu gagal bayar, seluruh kekayaan Tomy disita bank. Termasuk semua kekayaan anak-anaknya. Kenapa harus sampai kekayaan anak-anak? Proyek itu pasti memakan waktu bertahun-tahun. Bisa 15 tahun. Dalam perjalanan itu bisa saja Tomy meninggal dunia. Kekayaan harus dibagi ke anak-anak. Tomy sampai menyiapkan anaknya untuk situasi yang terjelek. Di akhir pemerintahan SBY, Tomy mendapat kepastian: izin belum bisa dikeluarkan oleh pemerintahan waktu itu. Izin itu terlalu penting untuk dibuat oleh pemerintahan yang running out time. Lalu, di awal pemerintahan Presiden Jokowi, Peraturan Presiden tentang Selat Sunda itu dicabut. Selesai. Mungkinkah suatu saat pemerintah menginginkan pembangunan jembatan Selat Sunda? Mungkin saja. Tentu lebih sulit lagi. Terutama untuk mendapatkan tapak jembatan di sisi Banten. Waktu itu tapak jembatan tersebut direncanakan di lokasi yang siapa pun tidak mengira: Mojo. Luasnya 10.000 hektare. Wujudnya masih hutan karet. Mudah membebaskannya. Lokasi tapak itu masih sekitar 10 Km dari pantai –jauh di selatan Merak. Begitu jauh? Tentu. Tinggi jembatan itu bisa 100 meter. Naiknya tidak boleh tajam. Ancang-ancangnya sejak 10 Km sebelumnya. Demikian juga di sisi Lampung –yang mencari lahan 10.000 hektare tidak sulit di sana. Lokasi Mojo itu kini sudah bukan kebun lagi. Para pemburu tanah sudah mulai menguasainya: termasuk yang terkait dengan kasus Jiwasraya. Kalau pun akan ada jembatan Selat Sunda, sudah pasti pula bukan Tomy Winata investornya. Tomy sudah memasukkan semua perencanaan itu ke museum pribadi di otaknya. Di atas kapal itu saya pun segera melupakan Tomy. Saya menyendiri di ruang VIP. Hanya ada kami bertiga di situ: saya belum menulis naskah untuk Disway edisi esok hari. Juga belum memilih komentar pilihan. Senja itu saya bisa istirahat sambil menulis. Tak terasa di luar sudah gelap. Sebelum menulis saya ingin sekali mengirim WA ke dirut ASDP yang hebat itu: Mbak Ira. Bukan untuk memujinyi. Hanya untuk curhat: colokan HP di ruang itu jadul sekali. Padahal, di zaman ini, colokan HP lebih penting dari pantun terbaik Aryo sekali pun. Saya batalkan rencana itu. Terlalu sepele soal colokan untuk diketahui seorang dirut. Saya juga tidak mau dinilai menjadi penumpang yang cerewet. Toh masih ada 10 persen baterai di HP saya. Pasti cukup untuk satu naskah pendek. Dan lagi belum tentu naskah lebih penting dari pantun yang kini mewabah.

Tags :
Kategori :

Terkait