MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Kementerian Sosial harus cepat dan jeli menentukan sasaran penerima manfaat bantuan sosial. Terlebih, masyarakat yang mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi keluarga miskin dan rentan yang belum mendapatkan program PKH dan Sembako untuk penanggulangan masyarakat terdampak COVID-19. Anggota Komisi VIII DPR RI Nurhasan Zaidi, mengatakan pemerintah harus mensosialisasikan bantuan tersebut sedetail-detailnya. Terutama sasaran utama dari program-program tersebut. Yakni yakni diprioritaskan untuk masyarakat yang terdaftar Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). “Jangan sampai masyarakat terluka dan merasa diberikan angin surga. Khawatir menimbulkan kegaduhan dan konflik sosial, ini harus diantisipasi,” ujarnya Nurhasan di Jakarta, Rabu (8/4). Seperti diketahui, Kementerian Sosial ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo untuk menangani program social safety net bagi masyarakat yang terdampak COVID-19. Dari dana Stimulus Penanganan COVID-19 sebesar Rp405 triliun, sebanyak Rp110 triliun dialokasikan untuk dana Jaring Pengaman Sosial. Dari angka Rp110 triliun tersebut, selain untuk subsidi listrik dan kartu prakerja, kemensos mengalokasikannya dalam bentuk penambahan Kartu sembako dari 15,2 juta menjadi 20 juta KPM, dengan manfaat sebesar Rp200 ribu selama sembilan bulan. Jugha PKH disalurkan kepada 10 juta KPM, yang bantuannya dinaikkan 25 persen dalam setahun. Kemensos juga menggulirkan program khusus Sembako untuk DKI Jakarta sebagai wilayah episentrum COVID-19 dan skema BLT untuk 7,5 KPM dengan nilai Rp600 ribu per bulan. “Kita apresiasi langkah kemensos yang sigap merefocusing program anggaran kementrian untuk mengatasi dampak sosial ekonomi dimasa social distancing saat ini. Semua harus dilakukan dengan cepat. Tetapi jangan sampai salah sasaran. Kita minta 7,5 juta KPM BLT harus benar-benar teralokasikan dengan benar. DPR akan terus kawal ini,” papar Nurhasan. Pihaknya mencoba memahami alasan kemensos menggunakan DTKS sebagai rujukan utama sasaran program Bansos tersebut. “Tetapi pemerintah juga harus ingat banyak masyarakat yang tidak terdaftar dalam DTKS. Banyak juga yang terimbas dan rentan jatuh miskin dalam kondisi sekarang. Ini juga harus menjadi perhatian pemerintah,” lanjutnya. Terkait dengan harapan masyarakat umum atas statement pemerintah tentang bantuan ini, Nurhasan menegaskan jangan sampai masyarakat salah persepsi. Sehingga menimbulkan konflik sosial dan kegaduhan yang menurunkan kewibawaan pemerintah. Paket bantuan sosial tersebut mewujud dalam peningkatan jumlah penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH), sembako, kartu prakerja, kompensasi tarif listrik, serta relaksasi kredit bagi pekerja informal. Namun, dengan anggaran sebesar itu bukan berarti tanpa ada potensi masalah. Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf menilai, wabah COVID-19, turut membawa bencana ekonomi. Khususnya bagi kelompok masyarakat rentan miskin. Berdasarkan Basis Data Terpadu dalam RAPBN 2020, jumlah masyarakat rentan miskin di Indonesia mencapai 99.359.312 jiwa atau 31.430.304 kepala keluarga. Menurutnya, angka statistik tersebut merepresentasikan potret kelompok masyarakat yang paling terdampak akibat wabah COVID-19. Dampak multidimensional COVID-19 adalah hantaman keras bagi masyarakat dari aspek ekonomi dan sosial. Pemerintah harus bergerak cepat dengan menyalurkan paket bantuan sosial yang telah disiapkan secara tepat sasaran dengan mengacu pada DTKS. “Namun, apakah itu cukup. Saya kira belum. Pertanyaan selanjutnya justru tentang nasib masyarakat rentan miskin yang belum tercatat di DTKS. Sejauh apa peran Kemensos dalam memastikan segmen masyarakat ini turut merasakan manfaat dari bansos senilai Rp110 Triliun tersebut. Saya pikir hal inilah yang perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk mengantisipasi lonjakan angka masyarakat miskin baru,” paparnya. Bukhori menilai, bantuan sosial turut berpotensi menjadi sumber konflik sosial ketika dalam proses distribusinya dilakukan tidak berdasarkan data terkini dan akurat. Bantuan sosial yang sejatinya ditujukan untuk membuat masyarakat menjadi lebih kondusif dan terbantu justru menjadi kontradiktif ketika penyalurannya tidak tepat sasaran. “Potensi kecemburuan sosial, gesekan sosial, bahkan berbagai konflik horizontal sangat tinggi di tengah situasi krisis ini. Ini perlu dicermati oleh pemerintah. Sebab masyarakat sudah terbebani sebelumnya oleh penyebaran virus dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan akibat respon lamban pemerintah. Karena itu, penyaluran bantuan sosial harus dilakukan secara profesional dan bertanggungjawab. Agar tidak menimbulkan masalah baru bagi masyarakat dan manfaatnya bisa dirasakan secara nyata,” tukasnya. Bukhori juga menyoroti kebijakan terbaru pemerintah terkait penanganan COVID-19. Ia menyinggung Peraturan Menteri Kesehatan No 9/2020 tentang pedoman PSBB khususnya pada Bab II Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pasal 4. Klausul tersebut justru menyulitkan daerah yang masih steril untuk melakukan langkah pencegahan melalui PSBB. Karena secara logika, wilayah yang masih steril tidak mungkin memiliki tiga syarat yang sudah ditetapkan pusat tersebut. Sejauh ini hanya provinsi NTT dan Gorontalo yang belum ditemukan kasus positif COVID-19. “Inisiatif daerah untuk lockdown dilarang. Sedangkan bagi daerah yang ingin melakukan pencegahan penularan virus melalui PSBB justru dipersulit dengan syarat administratif dan birokratis,“ pungkas Bukhori. Hal senada juga disampaikan Ketua DPP Partai Golkar Iqbal Wibisono. Dia menyatakan dana jaring pengaman sosial Rp110 triliun harus benar-benar tepat sasaran. Sehingga penerapan PSBB di suatu daerah tidak menimbulkan masalah baru. \"Kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, harus menyampaikan data terkini. Apalagi pandemi COVID-19 ini berpotensi melahirkan orang miskin baru. Karena penghasilan mereka menurun. Bahkan ada di antara mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK),\" jelas Iqbal, Rabu (8/4). Menurutnya, saat ini negara membutuhkan pemikiran dan pengorbanan semua pihak. Menyinggung soal dana Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial, politisi Partai Golkar ini mengatakan anggaran tersebut relatif cukup besar untuk mengatasi musibah di Tanah Air. Dia berharap tidak ada penyimpangan dalam penyaluran anggaran sebesar itu. Karena masyarakat yang berada di wilayah PSBB sangat membutuhkan dan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena itu, Iqbal menekankan bahwa insentif perlindungan sosial sebesar Rp110 triliun harus tepat sasaran. Termasuk keluarga penerima manfaat (KPM) dalam Program Keluarga Harapan yang pembayarannya mulai April 2020. Begitu pula, pemegang kartu sembako adalah masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Apalagi pada masa pandemi COVID-19 ini, ada kenaikan 33 persen, dari Rp150 ribu menjadi Rp200 ribu selama 9 bulan. Menyinggung kembali korban PHK akibat wabah COVID-19, Iqbal menegaskan mereka harus mendapat prioritas dalam program Kartu Prakerja. Mereka akan mendapat insentif pascapelatihan sebesar Rp600 ribu dengan biaya pelatihan Rp1 juta. \"Pekerja informal serta pelaku usaha mikro dan kecil juga harus mendapat bantuan agar tetap mendapatkan penghasilan. Apalagi mereka yang tinggal di daerah PSBB,\" papar Iqbal. Terkait dengan dana jaring pengaman sosial juga untuk menggratiskan abonemen listrik bagi 24.000.000 pelanggan listrik daya 450 VA dan diskon 50 persen untuk 7.000.000 pelanggan 900 VA bersubsidi, menurut Iqbal, perlu melihat kondisi terkini. Terpisah, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta PLN segera memberi penjelasan. PLN perlu memberikan ilustrasi perhitungan tarif listrik yang berlaku selama masa darurat Corona. Tujuannya, agar masyarakat tidak salah paham. Sebelumnya, di media sosial banyak ditemukan keluhan pelanggan PLN golongan nonsubsidi tentang tarif listrik Maret 2020. Umumnya pelanggan listrik pascabayar tersebut merasa jumlah tagihan tarif listrik Maret 2020 lebih besar dan tidak wajar. Mereka menduga PLN telah menaikan tarif listrik secara diam-diam untuk menunjang program diskon tarif dan gratis tarif bagi pelanggan listrik bersubsidi. Mulyanto menyayangkan dalam kondisi prihatin seperti ini masyarakat harus menanggung beban tambahan biaya tarif listrik. Padahal sebelumnya Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) sudah berjanji tidak akan menaikan tarif listrik hingga Juni 2020. \"Saya sudah tanyakan langsung masalah ini ke Direksi PLN. Menurutnya, jumlah tagihan listrik bulan Maret dihitung berdasarkan angka rata-rata pembayaran listrik selama tiga bulan terakhir. Karena selama masa darurat Corona, PLN meniadakan kegiatan catat meter oleh petugas,” paparnya. Penjelasan Direksi PLN ini menurut Mulyanto masih membingungkan masyarakat. Jika benar tarif dihitung berdasarkan angka rata-rata penggunaan listrik selama tiga bulan terakhir, harusnya jumlah yang didapat tidak sampai melonjak drastis. “Fakta di lapangan kami dapat laporan ada pelanggan tagihannya melonjak hingga 80 hingga 100 persen. Ini sangat membingungkan,\" jelas Mulyanto. Dia minta PLN transparan soal tarif listrik bulan Maret 2020. PLN harus komitmen dengan rencana awal bahwa di masa darurat Corona ini akan meringankan beban tagihan listrik masyarakat dan dunia usaha. Dia menyarankan PLN mencari model perhitungan lain yang tidak memberatkan pelanggan jika cara perhitungan rata-rata ini malah menambah beban masyarakat. PLN harus memahami kondisi masyarakat yang tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara normal akibat pandemi COVID-19.(khf/fin/rh)
Jangan Timbulkan Masalah Baru
Kamis 09-04-2020,03:36 WIB
Editor : ME
Kategori :