Kaji Lagi Bebaskan Koruptor Usia 60 Tahun

Jumat 03-04-2020,03:32 WIB
Editor : ME

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengimbau pemerintah dan DPR mengkaji secara matang dan sistematis sebelum memutuskan merevisi suatu aturan. Pernyataan ini merespons permintaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly kepada Komisi III DPR untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan. Perubahan aturan itu nantinya bakal memungkinkan narapidana tindak pidana korupsi berusia 60 tahun ke atas dan telah menjalani 2/3 masa hukuman mendapatkan remisi dari pemerintah guna mencegah penyebaran virus corona (COVID-19) di lembaga permasyarakatan (lapas). \"Perubahan sebuah aturan semestinya dikaji secara matang dan sitematis terlebih dahulu,\" ujar Pelaksana Tugas Juru Bicara bidang Penindakan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Kamis (2/4). Ali Fikri menyatakan, KPK melalui Biro Hukum hingga kini tidak pernah dimintai pendapat oleh pemerintah dan DPR. Pendapat yang dimaksud yakni menyangkut substansi materi yang nantinya bakal dimuat dalam revisi PP tersebut. Pemberian remisi tersebut diketahui juga bertujuan untuk mengurangi jumlah narapidana di lapas lantaran alasan kelebihan kapasitas. Jika demikian, kata Ali Fikri, Kemenkumham sepatutnya perlu mengkaji serta menyampaikan informasi kepada publik mengenai kategori narapidana tertentu yang menyebabkan lapas mengalami kelebihan kapasitas. \"Apabila fokus pengurangan jumlah napi untuk mengurangi wabah bahaya covid-19 terkait kasus korupsi, maka Kemenkumham menurut kami semestinya perlu menyampaikan kepada publik secara terbuka sebenarnya napi kejahatan apa yang over kapasitas di lapas saat ini,\" ucapnya. KPK berharap, revisi PP di kemudian hari tidak memberikan kemudahan bagi para narapidana koruptor, mengingat dampak dan bahaya dari korupsi yang sangat merugikan negara serta masyarakat. Ia menuturkan, lembaga antirasuah sebelumnya pernah melakukan kajian terkait pelayanan lapas. Salah satu permasalahan yang disorot dalam kajian tersebut adalah kelebihan kapasitas dan potensi penyalahgunaan kewenangan. \"Dari tindak lanjut kajian tersebut, atas 14 rencana aksi yang diimplementasikan Ditjenpas (Direktorat Jenderal Permasyarakatan) sejak 2019, baru satu rencana aksi yang statusnya closed (selesai),\" kata Ali Fikri. Ia mengungkapkan, pihaknya meyakini jika rencana aksi dijalankan secara keseluruhan, maka persoalan terkait pelayanan lapas termasuk kelebihan kapasitas dapat ditanggulangi. Mengingat, kata dia, berdasarkan kajian, nyaris separuh dari penghuni lapas dan rumah tahanan (rutan) berasal dari tindak pidana narkotika. \"Maka salah satu rekomendasi jangka menengah KPK dalam menekan overstay adalah mendorong revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 khusus untuk pemberian remisi terutama bagi pengguna narkoba, termasuk mendorong mekanisme diversi untuk pengguna narkoba dengan mengoptimalkan peran Bapas dan BNN (rehab),\" tandas Ali Fikri. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menanggapi positif usulan Yasonna Laoly apabila revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 benar-benar dilakukan atas dasar menekan penyebaran COVID-19 di lingkungan lapas. Dengan angka kelebihan kapasitas yang menyentuh lebih dari 300%, menurut Ghufron, tidak memungkinkan bagi narapidana untuk menerapkan perilaku physical distancing satu sama lain. Hanya saja, sambung dia, pemberian remisi harus mempertimbangkan aspek keadilan serta tujuan pemidanaan itu sendiri. \"Ini adalah murni pertimbangan kemanusiaan. Bagaimanapun kita tetap harus mempertimbangkan nilai kemanusiaan bagi narapidana. Namum itu semua harus dengan perubahan PP 99/2012 tersebut yg berperspektif epidemi namun juga tidak mengabaikan keadilan bagi warga binaan lainnya dan aspek tujuan pemidanaan,\" tutur Ghufron. Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai, Yasonna Laoly kini sudah tak lagi memandang korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Ia menyebut, revisi PP 99/2012 akan mempermudah narapidana korupsi untuk bebas dari hukuman dan berpotensi meminimalisir efek jera. \"Kejahatan korupsi tidak bisa disamakan dengan bentuk kejahatan lainnya. Selain telah merugikan keuangan negara, korupsi juga merusak sistem demokrasi, bahkan dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Mempermudah narapidana korupsi untuk terbebas dari masa hukuman bukan merupakan keputusan yang tepat,\" kata Kurnia. Data ICW menunjukkan, rata-rata vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bagi pelaku korupsi hanya menyentuh angka 2 tahun 5 bulan penjara. Belum lagi, kata dia, ditambah dengan situasi maraknya praktik korupsi di lembaga pemasyarakatan sehingga bila kebijakan tersebut terealisasi maka ke depan pelaku korupsi tidak akan lagi jera untuk melakukan kejahatan tersebut. Selain itu, menurut Kurnia, jumlah narapidana korupsi juga tidak sebanding dengan narapidana kejahatan lainnya. Data Kemenkumham pada 2018 menyebutkan, jumlah narapidana seluruh Indonesia mencapai 248.690 orang dan 4.552 orang diantaranya adalah narapidana korupsi. Artinya, narapidana korupsi hanya berjumlah 1,8% dari total narapidana yang ada di lembaga pemasyarakatan. Sehingga, menurut Kurnia, akan lebih baik jika pemerintah fokus pada narapidana kejahatan seperti narkoba atau tindak pidana umum lainnya yang memang secara kuantitas jauh lebih banyak dibanding korupsi. \"Tidak ada kaitannya pembebasan napi korupsi sebagai pencegahan COVID-19. Hal ini disebabkan karena Lapas Sukamiskin justru memberikan keistimewaan satu ruang sel diisi oleh satu narapidana kasus korupsi, justru ini bentuk \\\'social distancing\\\' yang diterapkan agar mencegah penularan,\" tegas Kurnia. (riz/gw/fin)

Tags :
Kategori :

Terkait