MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Pemerintah diminta mempertimbangkan secara matang terkait rencana pembukaan sekolah di tengah masih berlangsungnya pandemi virus corona (covid-19) di Tanga Air. Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menyarankan, sebaiknya pemerintah lebih dulu melakukan simulasi penerapan protokol kesehatan di sekolah sebelum benar-benar membukanya secara normal. \"Sebelum sekolah dibuka dilakukan simulasi penerapan protokol kesehatan dulu, sehingga meminimalkan potensi penularan pandemi covid-19,\" kata Huda, Rabu (27/5). Menurut Huda, rencana pembukaan sekolah perlu mempertimbangkan sejumlah aspek. Misalnya, seperti apa posisi sekolah pada zona covid-19, bagaimana protokol kesehatannya, hingga kejelasan sosialisasi dan evaluasi pelaksanaan di lapangan. \"Bila sekolah berada di zona hijau maka sekolah bisa dibuka kembali. Sebaliknya, wacana pembukaan sekolah harus ditolak jika ada di zona merah,\" uajrnya. \"Protokol kesehatan yang harus dikaji meliputi proses pemeriksaan kesehatan bagi guru dan siswa. Mereka yang mempunyai penyakit kormobid sebaiknya tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan belajar mengajar,\" imbuhnya. Selain itu, kata Huda, harus ada tes Polymerase Chain Reaction (PCR) bagi guru dan siswa sebelum pembukaan sekolah. Kemudian, adanya pengaturan pola duduk di kelas, hingga ketersediaan penyanitasi tangan serta disinfektan. \"Semua protokol kesehatan tersebut harus disosialisasikan kepada para orang tua siswa serta dilakukan simulasinya sebelum proses pembukaan sekolah,\" terangnya. Huda menilai, pembukaan sekolah pada masa pandemi merupakan sebuah pertaruhan besar. Apalagi hingga saat ini laju penularan covid-19 di Tanah Air kian meningkat dan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. \"Hingga kemarin kurva kasus positif covid-19 di sejumlah daerah malah menunjukkan peningkatan tajam, sehingga jika dipaksakan membuka sekolah di wilayah-wilayah tersebut maka potensi penularannya di kalangan peserta kegiatan belajar-mengajar akan sangat besar,\" tuturnya. Huda mengungkapkan, bahwa anak-anak usia sekolah sangat rentan tertular covid-19. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hingga Jumat, 22 Mei 2020, jumlah anak positif covid-19 rentang usia 0-14 tahun sebanyak 831 anak. Jumlah ini setara empat persen dari keseluruhan pasien positif. Sedangkan jumlah Pasiden dalam Pengawasan (PDP) anak di Indonesia dengan berbagai penyakit sebanyak 3.400 kasus. \"Data Ikatan Dokter Indonesia menyebutkan, jika 129 anak meninggal dunia dengan status PDP dan 14 anak meninggal dengan status positif. Artinya, anak-anak usia sekolah juga rentan tertular sehingga jika sekolah kembali dibuka maka harus dipersiapkan secara matang,\" jelasnya. Sementara itu, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, bahwa jumlah sekolah yang siap dengan protokol kesehatan untuk kembali membuka sekolah masih sedikit, baru 18 persen. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan, Retno Listyarti menyebut sekolah yang siap dengan protokol kesehatan untuk kembali membuka sekolah masih sedikit. Berdasarkan data KPAI \"Baru 18 persen sekolah yang siap dengan protokol kesehatan pencegahan covid-19. Selebihnya sekitar 80 persen tidak siap,\" kata Komisioner KPAI bidang Pendidikan, Retno Listyarti. Menurut Retno, jika pemerinta tetap ingin membuka kembali sekolah harus bergerak cepat untuk menyiapkan keperluan bagi sekolah-sekolah yang belum siap tersebut dengan protokol kesehatan. \"Kemendikbud harus melakukan persiapan, mulai dari tempat cuci tangan sampai disinfektan dan juga harus memastikan, memetakan dengan dinas-dinas pendidikan,\" tuturnya. Selain itu, kata Retno, format masuk siswa juga harus diatur. Artinya, kelas berapa saja yang boleh masuk, berapa siswa yang diperkenankan masuk. Kemudian membentuk budaya peserta didik agar sadar dengan pentingnya protokol kesehatan. \"Misalnya SMA kelas 1 dan 2, kelas 3 libur. Kemudian masuk kelas 2 dan 3 kelas 1 libur, jaga jarak, kantin tidak boleh buka, karena akan menjadi tempat kerumunan, apakah terbiasa memakai masker,\" jelasnya. Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim justru menyarankan, agar sebaiknya tahun ajaran baru 2020/2021 digeser ke Januari 2021, dikarenakan kondisi pandemi COVID-19 yang membahayakan siswa jika sekolah kembali dibuka. \"Sebaiknya tahun ajaran baru digeser ke Januari 2021 dan selama satu semester digunakan untuk peningkatan kompetensi guru dalam pembelajaran daring,\" ujar Ramli. Menurut Ramli, terdapat beberapa alasan mengapa tahun ajaran baru perlu digeser ke Januari 2021. Pertama, memberikan kepastian tahun ajaran baru bergeser ke Januari akan membuat dunia pendidikan memiliki langkah-langkah yang jelas, terutama terkait minimnya jumlah guru yang memiliki kemampuan dalam menjalankan pembelajaran daring. \"Saat ini pembelajaran belum optimal karena gurunya tidak memiliki kompetensi yang cukup, kuota data yang kurang memadai, dan peralatan yang kurang tersedia,\" katanya. Ramli menambahkan, dengan menggeser tahun ajaran baru menghindarkan siswa dan orang tua dari stres berkepanjangan. Hal itu dikarenakan orang tua memikirkan keselamatan anaknya di sekolah. \"Dengan menggeser tahun ajaran baru, Kemendikbud bisa fokus meningkatkan kompetensi guru selama enam bulan, sehingga pada Januari 2021 sudah bisa menyelenggarakan pembelajaran daring berkualitas dan menyenangkan jika ternyata COVID-19 belum tuntas,\" pungkasnya. (der/fin)
Pemerintah Diminta Hati-hati Buka Sekolah
Kamis 28-05-2020,06:25 WIB
Editor : ME
Kategori :