MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI meminta masyarakat ikut terlibat mengawasi tahapan seleksi Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam). Menurutnya, publik berhak melaporkan jika ada proses perekrutan yang tidak berjalan sesuai aturan. Misalnya, ada calon Panwascam berlatar belakang partisan salah satu partai politik. Ketua Bawaslu RI Abhan mengatakan, dua pekan mendatang, Bawaslu mulai melakukan rekrutmen pengawas pemilu jajaran Ad hoc (sementara). Bawaslu mencari masyarakat yang punya integritas tinggi menjadi Panwascam. \"Dalam proses seleksi peran masyarakat sangat besar. Karena belum tentu Bawaslu tahu latar belakang seluruh pelamar,\" kata Abhan di Jakarta, Senin (4/11). Salah satu syarat menjadi pengawas Ad hoc adalah non partisan. Jika ada yang terlibat tidak akan diterima. Tetapi, boleh melamar menjadi Panwascam setelah tidak menjadi salah satu partisan partai dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Tujuannya supaya ketika menjalankan tugas boleh berpihak kepada salah satu peserta pemilu. \"Kalau pengawas masuk angin sangat bahaya sekali. Akan menimbulkan banyak masalah dan menciderai integritas penyelenggara pemilu,\" imbuhnya. Diagendakan, Panwascam bakal dibentuk satu bulan sebelum terbentuknya Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) pada Januari 2020. Rencananya, Bawaslu akan melantik Panwascam pada Desember 2019. Terpisah, DPR juga menyoroti soal aturan tentang syarat umur petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Wakil rakyat meminta usia panitia ad hoc dipersempit. Yakni 20 sampai 45 tahun. Anggota Komisi II DPR Kamrussamad mengatakan, draf peraturan KPU Pilkada perlu diperdalam. Pasal 3 tentang syarat PPK PPS dan KPPS ayat B, usia paling rendah 17 tahun dan paling tinggi 60 tahun. Ia menilai syarat usia petugas KPPS perlu dibahas kembali karena pengalaman di Pilpres 2019 lalu. Di mana banyak petugas KPPS yang meninggal. \"Berdasarkan pengalaman Pilpres, Pileg serentak kemarin (2019) banyak korban petugas KPPS. Karena itu perlu dipertimbangkan usia minimal 20 tahun dan paling tinggi 45 tahun,\" terang Kamrussamad. Menurutnya, diperlukan evaluasi penyelenggaraan Pemilu 2019. Salah satu hal yang dinilai perlu dievaluasi. Yakni netralitas aparatur sipil negara (ASN). \"Melakukan evaluasi Pemilu yang lalu dengan isu krusial, pertama calon tunggal pilkada yang dikondisikan, politik uang yang masih mewarnai pilkada, sentra Gakkumdu yang harus diperkuat dan netralitas ASN birokrasi,\" tandasnya. Terpisah, Akademisi Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai usulan DPR terkait pembatasan usia KPPS 20 sampai 45 tahun cukup bagus. Menurutnya, usia menjadi salah satu faktor banyak petugas KPPS yang meninggal pada Pemilu 2019 lalu. Usia yang diusulkan legislatif juga dinilai sebagai usia produktif. Selain itu, usia tersebut juga lebih aktif dibandingkan usia yang lebih tua atau di atas 45 tahun. Selain pembatasan usia, Emrus mengatakan perlu dilakukan tes kesehatan secara komprehensif. Banyaknya petugas yang kelelahan hingga meninggal dunia dikarenakan kurang selektifnya tes kesehatan yang dilakukan saat rekrutmen. “Menurut saya itu perlu didukung. Dengan dipersempitnya usia, diharapkan tidak ada lagi KPPS yang meninggal dunia pada Pilkada ataupun perhelatan pesta demokrasi lainnya,” jelas Emrus. Hal senada dikatakan Akademisi Universitas Islam Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin. Menurutnya, banyak energi yang dibutuhkan petugas KPPS dalam menjalankan pekerjaannya. Kerja ekstra diperlukan agar penyelenggaraan pesta demokrasi berjalan lancar. “Faktor usia kan tidak bisa dibohongi. Mereka yang bertugas sebagai KPPS membutuhkan energi dan tenaga ekstra,” kata Ujang. Menurutnya, mereka yang sudah berusia lebih dari 45 tahun bisa menjadi pengawas pemilu. Pengawas dinilai memiliki pekerjaan lebih ringan ketimbang yang mengurusi masyarakat menyalurkan hak pilihnya.(khf/fin/rh)
Pengawasan Ad Hoc Harus Non Partisipan
Selasa 05-11-2019,03:59 WIB
Editor : ME
Kategori :