Pria Berumur 17 Tahun Lebih Wajib Menari Selama 12 Jam Tanpa Jeda

Selasa 23-08-2022,06:00 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Malik Salman

WONOSOBO, MAGELANGEKSPRES.DISWAY.ID - Setelah tujuh tahun, Dusun Kaliyoso Desa Tegalombo Kalikajar kembali gelar tradisi Hak-hakan. Tradisi yang sudah ada  sejak tahun 1921 sebelum negeri ini merdeka.

Tradisi itu terus dijaga warga Kaliyoso karena menyangkut cikal bakal dusun di lereng Gunung Sumbing itu. Seperti apakah tradisi itu?

Pagi itu, seluruh warga Dusun Kaliyoso Desa Tegalombo Kalikajar dilarang bepergian keluar dusun, kecuali untuk urusan mendesak.

Terutama laki laki yang berumur di atas 17 tahun. Sejak dua hari lalu, sejumlah warga telah sibuk menyiapkan panggung acara di lokasi terbuka yang cukup luas di depan rumah sang kades.

Ruang lebar yang ditutup dengan tratak dan dihiasi dengan aneka macam kertas warna warni, ada umbul-umbul serta anyaman daun kelapa, persis menyerupai kegiatan hajatan. Terdapat panggung di dalamnya. Cukup luas, bisa menampung sekitar 200-an orang.

Tidak ada pembatas atau penutup, sehingga warga bisa leluasa melihat aktivitas di dalamnya. Di pojok ruangan dekat dengan panggung kehormatan dan juga penabuh gamelan, sesepuh desa meletakkan sesaji, dari dupa kecil keluarkan asap tipis dan bau wangi.

Sekitar pukul 08.00 WIB pagi, seluruh warga berbondong-bondong membanjiri lokasi itu. Mereka wajib menggunakan baju adat Jawa, untuk laki laki memakai beskap lengkap dengan blangkon dan keris yang diselipkan di belakang punggung. Sementara perempuan menggunakan baju kebaya.

Puluhan laki laki berbaju adat jawa itulah yang akan mengikuti prosesi upacara Hak-hakan, mereka langusng masuk ke arena, kemudain duduk bersila, setelah diawali prosesi pembukaan dan doa.

Musik gamelan mengalun dan ratusan orang yang ada di dalam mengambil posisi berdiri kemudian menari bersama.

Ada lima sap barisan, bergerak menari bersama mengikuti alunan musik gamelan dan bunyi bunyian dari bamboo. Mereka menari sambil berjalan mengikuti arah jarum jam, namun pada alun musik tertentu, mereka berbalik arah.

Saat menari, keris yang ada di punggung itu dilepas dan di pegang menggunakan tangan kanan, dan sesekali di letakkan di pundak sisi kiri. Jika para penari sudah mulai lelah, ada waktu istirahat dengan cara duduk bersama, tanpa meninggalkan ruangan itu. Kemudian mulai lagi hingga 12 jam lamanya.

Kepala Desa Tegalombo Kalikajar, Tri Jatmiko mengatakan, bawah tradisi Hak-hakan merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan oleh warga Dusun Kaliyoso Desa Tegalombo Kalikajar.

Tradisi itu sudah dilakukan oleh para pendiri desa sejak tahun 1921. Tradisi ini diawali dengan membersihkan punden dan juga berkirim doa kepada pendiri desa.

“Jadi sebelum Indonesia merdeka, tradisi Hak-hakan sudah ada di Dusun Kaliyoso,” ucapnya.

Tarian dalam tradisi Hak-hakan sendiri menggambarkan tentang, perjuangan warga Dusun Kaliyoso yang mencari sumber mata air untuk dialirkan ke pemukiman dan sawah sawah di Dusun Kaliyoso yang menjadi hak hidup mereka.

“Makanya disebut Hak -hakan,” imbuhnya.

Tradisi Hak-hakan wajib digelar, minimal 4 tahun sekali. Bahkan warga dan kasepuhan akan protes kepada pemerintah desa jika sampai tidak digelar.

Hal itu sebagai bentuk pelestarian cagar budaya sekaligus penghormatan terhadap para pendiri Dusun Kaliyoso.

“Kami sudah 7 tahun tidak gelar acara ini, banyak kasepuhan yang sudah gelisah dan meminta untuk segera dilakukan, maka tahun ini kami gelar acara itu,” ujarnya.

Tradisi Hak-hakan di dusun tersebut menjadi satu-satunya di Jawa Tengah. Bahkan mungkin satu-satunya di Indonesia yang masih melestarikan.

Meskipun konon kabarnya ada desa di Jogjakarta ada yang melakukan hal sama, akan tetapi hingga hari ini tidak jelas lokasinya.

“Hak-hakan, terus diuri uri atau dilestarikan karena menjadi cikal bakal Dusun Kaliyoso saat menemukan mata air dan membuat saluran air untuk perkampungan dan sawah, lalui disimbolkan dalam bentuk tarian massal yang diiringi oleh gamelan dan bunyi bunyian alat kentongan yang terbuat dari bambu,” pungkasnya. (gus)

Kategori :