Dalam bahasa Jawa, peristiwa ketika air atau sesuatu yang banyak keluar dari satu sumber secara tiba-tiba disebut sebagai "mubal" atau "mudal".
Akibatnya, penduduk setempat sepakat untuk memberi nama tempat di mana fenomena alam ini terjadi sebagai "Mudal".
Ada dugaan bahwa petani dan kerbaunya tersedot oleh air.
Namun, tidak lama kemudian, petani dan kerbau ditemukan utuh, tetapi sudah tidak hidup, di hilir sungai Opak di daerah Kretek, Parangtritis, Bantul, di wilayah Yogyakarta Hadiningrat.
Orang-orang yang menemukan jenazah tersebut melaporkannya kepada penguasa Mataram yang saat itu di bawah kepemimpinan Sultan Agung.
Sultan Agung memerintahkan agar jenazah tersebut dirawat sesuai dengan adat keraton dan diadakan upacara yang sesuai.
Oleh karena itu, peristiwa ini terjadi antara tahun 1613 hingga 1645, selama masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram.
BACA JUGA: 5 Potret Pesona Telomoyo Magelang, Gunung 1.894 MDPL Yang Bisa Didaki Naik Motor
Laporan dari masyarakat kemudian ditindaklanjuti oleh Sultan. Ia mengunjungi Mudal Blabak, di mana mata air mulai membesar.
Dalam rangka mengatasi hal ini, mereka membentuk saluran pembuangan yang mirip dengan prototipe irigasi, berupa sebuah parit yang seiring berjalannya waktu menjadi semakin mirip dengan sungai.
Parit ini kemudian dikenal sebagai Kali Agung atau kaligung, yang bermuara di kali Elo, dan masih ada hingga saat ini.
Sultan Agung juga menandai mata air Mudal Blabak dengan penanaman pohon Ringin Putih di seberang mata air untuk melindunginya dari erosi tanah.
Seiring perkembangan alamiah, pohon Ringin Putih ini dikelilingi oleh Ringin Kurung dan Ringin Tali/oyot, menciptakan hutan yang lebat dan teduh.
Sultan Agung juga menganggap mata air Mudal Blabak sebagai tempat yang sangat istimewa dalam kasepuhan Mataram.
Beliau menugaskan seorang punggawanya yang bernama Kyai Sempani untuk mengelola dan menjaga Mudal Blabak.