MAGELANG, MAGELANGEKSPRES - Seorang pedagang soto di Kota Magelang memutuskan maju sebagai caleg DPR RI untuk Dapil 6 (Wonosobo, Purworejo, Magelang, Kota Magelang, Temanggung) dari Partai Buruh.
Pedagang soto itu memiliki nama lengkap Makiran SPd MM. Ia nekat nyaleg agar bisa unjuk suara di parlemen demi memperjuangkan hak-hak buruh atau pekerja secara kolektif.
Pak Makiran, orang menyebutnya, adalah pemilik warung Soto Khas Boyolali ‘Niki Remen’ dan Sate Ayam Khas Ambal, Kebumen.
Sehari-hari ia bersama istri tercintanya selalu berada di lapaknya yang berada di selter kuliner samping Informa Magelang, atau seberang RSUD Tidar Kota Magelang.
Sejak pagi sampai sore, warungnya ramai. Kata beberapa pelanggan, sotonya segar dan bumbu satenya khas.
“Meskipun saya ini sudah dagang (punya usaha, Red), tapi jiwa saya masih buruh,” ucap Makiran.
Makiran lahir pada 3 April 1970 lalu. Sudah sejak lama, tepatnya 1997, ia telah aktif berkecimpung di perserikatan pekerja. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus Wilayah Serikat Pekerja Hero Supermarket (DPW SPHS) Jateng dan DIY tahun 2000.
Bahkan hingga saat ini ia juga dipercaya menjadi Ketua Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Jateng. Untuk jabatan ini, Makiran sudah mengemban amanah dengan baik selama tiga periode.
Karena tahu betul bagaimana kondisi buruh, maka dari itu ia ingin memperjuangkan hak-hak buruh atau pekerja secara kolektif. Ia juga ingin melawan Omnibus Law utamanya klaster ketenagakerjaan.
Menurutnya, Undang-undang Omnibus Law yang "katanya" bertujuan untuk mengubah nasib pekerja lebih baik, justru sebaliknya malah merugikan pekerja, dan lebih menguntungkan pengusaha atau industri itu sendiri. Karena itu, kepentingan pekerja harus terus disuarakan.
“Banyak yang dirugikan dengan adanya Omnibus Law ini. Seperti klaster-klaster yang terkait pekerja, petani, nelayan, kesehatan, tenaga pendidik dan pendidikan, serta lainnya,” sebutnya.
Di klaster ketenagakerjaan, kebijakan outsourcing dalam rekrutmen karyawan sudah menyasar di semua sektor usaha. Angka serapan pekerja yang tinggi, disebutnya hanya timbul di permukaan. Setelah didalami, kontrak pekerja outsourcing umumnya hanya berlaku setahun.
“Lulusan sekarang memang terlihat banyak yang terserap. Padahal sebenarnya, rekrutmen angkatan sebelumnya di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja),” sentil pria yang juga menjabat Ketua Asosiasi Profesi Pemasaran Indonesia (APPI) Jateng itu.
Di belakang lulusan itu, kata Makiran, ada perjuangan keras orang tua untuk membiayai pendidikan anak sampai selesai. Ia salah satunya. Pernah kesulitan membayar biaya sekolah sampai harus berhutang.
“Begitu lulus, anak nggak punya kepastian bisa kerja. Itu (kebijakan, Red) jahat,” ungkapnya dengan mata yang memerah dan berkaca-kaca. Makiran ingat, masa sulit itu.