50 Seniman Melukis Bersama di Pendopo Pengayoman Temanggung

50 Seniman Melukis Bersama di Pendopo Pengayoman Temanggung

MAGELANGEKSPRES.COM,TEMANGGUNG – Di ujung pameran lukisan yang digelar di Pendopo Pengayoman Temanggung, puluhan pelukis dari Pulau Dewata dan Jawa menorehkan tintanya di halaman Komplek Rumah Dinas Bupati, Minggu (23/2). “Ada sekitar 50 pelukis yang menuangkan idenya di kanvas, mereka para pelukis ini dari berbagai aliran lukis,” ungkap Ketua Panitia Pameran Lukisan, Witarso Saptono Putro, kemarin. Ia mengatakan, pameran yang diselenggarakan mulai tanggal 19 hingga 23 Febuari 2020 ini digelar dalam rangka ulang tahun komunitas Cah Temanggung Kreatif (Catek) ke-31. Kali ini pameran diikuti oleh pelukis-pelukis dari Bali, Jawa Tengah dan Jogjakarta. “Ulang tahun kali ini ada yang berbeda, seniman yang ikut dalam pameran ini juga langsung menorehkan tinta dalam kain kanvas dihalaman pendopo. Biasanya tiap ulang tahun kami dari komunitas seni Catek hanya pemeran sendiri,” terangnya. Sedikitnya ada 80 lebih karya yang dipamerkan dari berbagai aliran lukisan. Semua lukisan itu hasil karya 50 orang perupa, 20 orang diantaranya perupa dari luar daerah dan 30 karya perupa asal Temanggung. “Kebanyakan karya yang dipamerkan dari cat minyak oil on canvas, ada pula yang acrilyc,” kata Witarso. Deddy PAW, perupa dari Magelang menampilkan dua karyanya, yakni 'Enjoy life with grateful heart (Menikmati hidup dengan bersyukur)', dan 'Mother's love is eternal (Kasih Ibu sepanjang masa'. Kedua lukisan dibuat dengan oil and acrylic on canvas dengan ukuran 115x165x12,5 cm tahun 2020. Lukisan masih menampilkan material dasar berupa apel yang menjadi ciri khas karyanya. Lukisan enjoy life with grateful heart merupakan hasil perenungan Deddy PAW dalam dekade terakhir dimana ada musim panas berkepanjangan. Ketika itu Deddy menyaksikan banyak orang mengeluh kepanasan. Lalu ketika datang musim hujan, orang pun masih terus mengeluh. Deddy berpendapat, mestinya masyarakat belajar dari orang desa yang tinggal jauh di pegunungan yang tidak pernah mengeluhkan kondisi alam. Sebab perubahan alam yang cukup ekstrim belakangan terjadi karena perilaku manusia. Baca juga Tebing di Desa Tegal Sari, Temanggung Berpotensi Longsor Lagi “Saya menggambarkannya dengan kupu-kupu yang melambangkan binatang yang indah dan tidak menyakiti makhluk lain. Pesan yang ingin disampaikan dari lukisan ini adalah bagaimana kita bisa hidup seperti kupu-kupu jadi bisa menikmati hidup dengan indah,” kata Deddy. Lukisan mother's love is eternal menceritakan budi baik seorang ibu yang tanpa pilih kasih bisa merawat semua anaknya. Meski punya anak sembilan orang pun tidak membedakan sampai anaknya sukses. Tapi sembilan anak belum tentu bisa merawat satu ibu. “Idenya saya menyadari ibu makin tua jadi saya setia mendampingi. Saya juga melihat di media massa ada selebriti yang berantem dengan ibunya, tidak hormat. Pada lukisan ini, gambaran seorang ibu dipotret dari belakang dengan maksud supaya anak-anak mengikuti ibunya,” terang Deddy. Tiga tahun terakhir ini Deddy memberikan sentuhan baru pada lukisannya. Ia yang sebelumnya dikenal sebagai penganut hiperrealisme, sekarang telah memadukan unsur abstraksi berupa air pada lukisannya. Hal itu karena ia ingin hidup seperti air mengalir. Akan tetapi air yang didapat tidak selalu bersih, kadang keruh dan terkontaminasi banyak hal seperti halnya kehidupan manusia. “Jadi manusia harus punya kendali dengan pengalaman, agama, pengetahuan untuk kontrol diri. Kalau tidak punya itu akan terseret arus. Kendali ini digambarkan dengan blok dan segitiga kecil dalam lukisan,”ujar Deddy. Eastingmedi, perupa dari Borobudur menampilkan satu karya berjudul 'Beautiful Colour'. Selama ini Eastingmedi dikenal sebagai spesialis pelukis kepala Buddha beraliran pointilis. Beautiful Colour menampilkan wajah Buddha dalam banyak warna. Hal itu karena bagi dia semua warna indah. Lukisan ini dibuat dengan ukuran 140x180 cm acrylic. Lukisan ini dijual dengan harga 3.000 USD atau sekitar Rp40 juta. “Buddha bagi saya adalah sejarah nenek moyang. Ini nostalgia Karena waktu kecil sering jalan kaki ramai-ramai dengan teman-teman naik ke Candi Borobudur sehingga kepala Buddha terekam di benak saya. Kepala Buddha disana tidak ada yang sama, kemungkinan karena seniman pembuatnya beda-beda,” terangynya.(set)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: