60 Persen Guru Kesulitan PJJ

60 Persen Guru Kesulitan PJJ

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Sejak diberlakukan pada 16 maret 2020 hingga saat ini, pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring nampaknya masih menjadi beban berat bagi guru maupun siswa. Kendala yang dihadapi mulai dari kompetensi guru menggunakan perangkat TIK hingga ketersediaan jaringan internet maupun telepon yang tidak stabil. Kemudian, problem kepemilikan sarana belajar berupa gadget oleh para siswa. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sebanyak 60 persen guru mengalami permasalahan dalam pembelajaran yang melibatkan TIK. Direktur Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Praptono mengakui, bahwa dalam pelakasanaan PJJ guru masih banyak mengalami kendala. "Dari hasil survie yang dilakukan Kemendikbud, sebanyak 60 persen guru masih kesulitan melakukan PJJ. Kami akan terus berupaya mencari solusi untuk mengatasi kendala ini selama pandemi Covid-19," kata Praptono dalam webinar di Jakarta, Jumat (23/10). Sejauh ini, kata Praptono, Kemendikbud telah memberi bantuan mulai dari bimbingan teknis pada guru, kuota internet, menyiapkan bahan ajar, rencana pelaksanaan pembelajaran, hingga bantuan infrastruktur di sekolah. "Dari intervensi Kemendikbud, terlihat ada perbaikan dalam pelaksanaan pembelajaran daring," ujarnya. Sementara itu, survei suara guru yang dilakukan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Wahana Visi Indonesia (WVI) dan Predikt menemukan, 76 persen guru merasa khawatir kembali ke sekolah selama pandemi Covid-19. Penelitian singkat ini dilakukan untuk mengetahui persepsi guru dan tenaga kependidikan lainnya terkait situasi sekolah akibat pandemi serta proses menuju pembukaan kembali sekolah dengan skema adaptasi kebiasaan baru," kata Ketua Tim Pendidikan WVI Mega Indrawati. Menurut survei tersebut, kekhawatiran terbesar pada guru adalah terjadi penularan Covid-19 pada peserta didik (44 persen) dan pada diri sendiri (37 persen), khawatir tidak bisa melakukan proses belajar mengajar dengan nyaman (29 persen). Kemudian, khawatir tidak bisa menjalankan pembelajaran tatap muka dengan efektif (24 persen), hingga khawatir keluarga di rumah tertular Covid-19 (23 persen). Adapun guru pendidikan khusus atau inklusi cenderung lebih merasa khawatir terkait masalah kesehatan, sedangkan guru di daerah terluar, terdepan, tertinggal (3T) relatif lebih khawatir terkait pembelajaran. "Hal itu karena anak berkebutuhan khusus lebih sulit melaksanakan protokol kesehatan sehingga rentan tertular Covid-19," ujarnya. Sedangkan 95 persen responden guru setuju pembelajaran jarak jauh atau kombinasi. Dengan keterbatasan sarana dan prasarana, sebagian besar guru mengusulkan kombinasi antara pembelajaran jarak jauh dan tatap muka (45 persen). Sementara itu, 38 persen guru memilih pembelajaran daring sepenuhnya, 12 persen memilih pembelajaran jarak jauh secara luring, dan hanya lima persen yang memilih tatap muka seluruhnya. Guru di daerah 3T cenderung memilih pembelajaran jarak jauh luring (26 persen). Sedangkan guru pendidikan khusus yang lebih khawatir terkait pandemi cenderung memilih pendidikan jarak jauh daring (40 persen). "Situasi ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas pendidikan karena belajar dari rumah memerlukan keahlian baru, baik oleh peserta didik maupun guru, terutama untuk sekolah luar biasa dan sekolah di daerah 3T," tuturnya. Survei dilakukan pada 18 Agustus 2020 hingga 5 September 2020 dengan responden 27.046 guru dan tenaga kependidikan di 34 provinsi di Indonesia. Sebanyak 95 persen responden berada di daerah non-3T, dan lima persen di daerah 3T. Sebanyak 74 persen responden berasal dari pendidikan umum dan 26 persen dari pendidikan khusus atau sekolah luar biasa. Sementara itu, Peneliti kebijakan pendidikan dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nya’ Zata Amani mengatakan, bahwa pendidikan jarak jauh (PJJ) tidak seharusnya berorientasi pada target ketuntasan kurikulum. Penerapan PJJ harus melihat peserta didik sebagai seorang anak. "Kalau masih orientasi pencapaian nilai, bukan pemahaman, bagaimana (siswa bisa) nilainya bagus. Perlu diperbaiki, perspektifnya siswa. Kita melihat pemahaman siswa bukan dari nilainya, tapi prosesnya, pembelajarannya," kata Zata. Zata menyarankan, para guru untuk mengubah paradigmanya itu dengan harapan mendorong kejujuran siswa, sembari melihat pemahaman anak didiknya. Menurutnya, pemberian tugas itu bukan hanya untuk evaluasi, tapi juga memiliki fungsi pengukuran. "Artinya, harus ada umpan balik kepada siswa, seperti di mana salahnya, apa kurangnya, dan lain-lain. Jangan sampai memberikan tugas yang memberatkan anak di masa PJJ ini," pungkasnya. (der/fin).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: