7,6 Persen Masyarakat Tolak Divaksin
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Masih ada warga yang menolak divaksin, jika ada program vaksinasi. Umumnya warga tersebut merasa tak yakin dengan keamanan vaksin. Project Integration Manager of Research and Development Division PT Bio Farma Neni Nurainy mengatakan hasil survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF terungkap 7,6 persen masyarakat di Indonesia menolak vaksin COVID-19. Mereka masih ragu dengan keamanan. "Pertanyaan dari survei tersebut, jika pemerintah memberikan vaksin COVID-19, apakah Anda dan keluarga akan ikut imunisasi? Sebanyak 7,60 persen menjawab tidak mau," katanya, saat diskusi daring dengan tema Refleksi Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-Amin, Senin (26/10). Meski demikian, sebagain besar masyarakat, Indonesia setuju menerima vaksin COVID-19. Total yang menjawa setuju yakni 64,81 persen. "Namun tidak sedikit pula, masyarakat yang belum tahu divaksin atau tidak. Totalnya sebanyak 27,60 persen," ungkapnya. Dijelaskannya, dari 7,60 persen masyarakat yang eggan divaksin memiliki beragam alasan berbeda. Namum umumnya, atau 59,03 persen tidak yakin dengan keamanana vaksin. Alasan lainnya, masyarakat tidak yakin dengan efektivitas vaksin sebesar 43,17 persen. Lalu, sebanyak 24,20 persen takut efek samping vaksin dan 26,04 persen tidak percaya vaksin. "Ditemukan juga alasan masyarakat menolak atau tidak mau divaksin karena masalah agama, sebesar 15,97 persen, dan 31,24 persen karena alasan lainnya," katanya lagi. Untuk itu, berdasarkan hasil survei yang dilaksanakan dengan melibatkan WHO dan UNICEF pada 30 September 2020 tersebut, dia berharap semua elemen melakukan komunikasi dan advokasi terhadap masyarakat. "Ini perlu disampaikan pentingnya vaksin," katanya. Terlebih, dalam waktu dekat pemerintah segera melakukan vaksinasi sehingga perlu komunikasi dan sosialisasi yang lebih intens kepada masyarakat, terutama yang menolak divaksin tersebut. Diterangkannya, vaksin hanya salah satu cara dari sekian banyak upaya penananganan wabah. Jadi bukan bukan satu-satunya, apalagi senjata pamungkas. "Jadi manfaat vaksin, selain mengontrol kematian juga mencegah kecacatan dan komplikasi akibat penyakit," katanya. Sebagai contoh, vaksin campak, telah berhasil menyelamatkan nyawa manusia sekitar 2,7 juta. Lalu dua juta dari bahaya tetanus dan satu juta karena pertussis. Bahkan, beberapa penyakit telah dieradikasi, misalnya cacar api, yang terjadi pada 1979. Karena efektivitas vaksin, maka terjadilah eradikasi dan tidak ada lagi penyakit tersebut di dunia. Selain itu, terdapat pula eliminasi atau penurunan pada beberapa penyakit, di antaranya rubella, campak dan pertussis. "Pada intinya vaksin menimbulkan kekebalan pada individu, kelompok dan juga global," katanya. Presiden Joko Widodo pun mengatakan pentingnya menerapkan strategi komunikasi publik dalam rencana pengadaan dan pelaksanaan vaksinasi COVID-19 di kalangan masyarakat. "Ini penting sekali, strategi komunikasi publik disiapkan dengan baik," katanya. Dikatakannya, strategi komunikasi publik yang tidak efektif akan berakibat buruk seperti halnya saat masyarakat merespon UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, Presiden meminta Menteri BUMN didukung Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) untuk menyiapkan strategi yang dimaksud. "Saya minta ini tim-nya pak Menteri BUMN disiapkan lagi strategi komunikasi ini, di-backup, dibantu Kominfo, dijelaskan komperehensif ke publik mengenai manfaat vaksin dan peta jalan pelaksanaan vaksinasi,” tegasnya. Dengan komunikasi publik yang baik, tidak akan terjadi lagi disinformasi dan penyebaran berita hoaks dari berbagai platform dan media yang ada. "Juga kita libatkan dari awal majelis dan organisasi keagamaan, MUI, NU, Muhammadiyah, ormas-ormas lainnya terutama manfaat vaksin dan meyakinkan umat mengenai kehalalan mengenai vaksin," ujarnya. Presiden Jokowi mengingatkan bahwa vaksinasi tidak hanya berkaitan dengan keselamatan jiwa manusia dan tidak hanya urusan kesehatan, tapi menyangkut ekonomi. Senada diungkapkan Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat. Dikatakannya pemerintah perlu menjalin komunikasi yang tepat, dengarkan masukan berbagai pihak dan menjelaskan dengan transparan proses menuju pelaksanaan vaksinasi COVID-19. Ini dilakukan agar tak muncul keraguan di tengah masyarakat. "Pemerintah harus mampu mengkomunikasikan teknis pengaplikasian vaksinasi COVID-19 dengan benar dan tepat kepada masyarakat," katanya. Dia mengakui, menjelang pelaksanaan vaksinasi COVID-19 yang direncanakan dimulai pada November 2020, memang banyak masukan dan informasi yang berkembang. Menurutnya, jelang tahapan vaksinasi COVID-19, komunikasi kebijakan yang dilakukan Pemerintah harus benar dan tepat sasaran. Sehingga tidak terjadi pemahaman yang salah dan berakibat penolakan di tengah masyarakat. "Pelaksanaan vaksinasi COVID-19 merupakan tahapan yang penting dalam upaya penanggulangan penyebaran virus korona di Tanah Air," katanya. Dia menilai jangan sampai karena kesalahan dalam mengkomunikasikan proses vaksinasi COVID-19, menggagalkan upaya pengendalian penyebaran virus korona secara keseluruhan.(gw/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: