Berdasar Data BPS, Cina Masih Kuasai Pasar Indonesia
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Cina masih menguasai pasar Indonesia. Tercatat, impor Indonesia pada April 2019 sebesar 15,10 miliar atau naik 12,25 persen dibandingkan Maret 2019. Artinya, secara kumulatif impor Indonesia dari Januari hingga April tercatat sebesar 55 miliar dolar AS. Setelah Cina, dua negara besar pemasok barang impor Indonesia sepanjang Januari hingga April adalah Jepang dan Tahiland. \"Tiga negara pengimpor terbesar adalah Tiongkok (Cina), Jepang dan Thaland,\" ujar Kepala BPS, Suhariyanto di Jakarta, kemarin (15/10). Sementara itu, lanjut dia, total nilai impor nonmigas dari tiga belas negara selama September 2019 tercatat sebesar 10,09 miliar, yang tercatat mengalami kenaikan 0,11 persen dari Agustus 2019 (mont to mont/mtm) sebesar 11,1 juta dolar AS. Kondisi demikian, menurut Suhariyanto disebabkan oleh meningkatnya impor dari beberapa negara utama. Misalnya dari Cina dengan nilai 142,6 juta dolar AS atau naik 3,82 persen (mtm), Korea Selatan naik menjadi 74,8 juta dolar AS atau 13,03 persen (mtm), dan dari Malaysia sebesar 60,7 juta dolar AS atau naik 13,26 persen (mtm). Jika dibandingkan dengan Januari-September 2018, dengan impor Januari-September 2019, dari 13 negara utama ada penurunan sekitar 6,49 miliar dolar AS atau 6,92 persen. Adapun penurunan itu disebabkan oleh penurunan impor dari Jepang sebesar 1,48 miliar dolar AS atau 11,14 persen, disusul oleh negara Thailand dengan nilai impor 1,14 miliar dolar AS atau turun 13,92 persen, dan Singapura dengan nilai impor 809,6 juta dolar AS, atau turun 10,92 persen. Suhariyanto juga mengatakan, Indonesia sejauh ini juga masih mengalami defisit perdagangan yang cukup melebar terhadap Cina. Hingga April 2019, defisit perdagangan Indonesia terhadap negara tirai bambu tersebut sebesar USD 7,1 miliar. \"Khusus April defisit dengan Tiongkok itu sebesar 1,9 miliar dolar AS,\" ujar Suhariyanto. \"Defisit dipicu olkeh impor non migas. Sepanjang April 2019 Cina mengimpor barang non migas sebesar 0,73 miliar dolar AS terbesar di antara 13 negara negara pemasok barang non migas ke Indonesia,\" tambah dia. Terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan, untuk mengimpor pemerintah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang ketat atau penghambat barang impor masuk ke Indonesia. \"Mengurangi impor itu bisa dilakukan dengan kebijakan-kebijakan seperti penerapan non tariff barier untuk barang impor. Di samping itu harus ada upaya untuk meningkatkan produksi dalam negeri sebagai substitusi barang impor,\" ujar Piter kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (15/10). Sementara Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda mengatakan, meskipun ada penurunan impor namun ekspor juga mengalami hal yang sama. Nah, inilah yang mendorong neraca perdagangan Indonesia kembali defisit. \"Banyak kebijakan-kebijakan yang justru mendorong impor dibandingkan ekspor. Contohnya kebijakan Pusat Logistik Berikat (PLB) yang mempermudah barang impor masuk. Tujuan awalnya memang mengurangi waktu bongkar muat di pelabuhan namun kebijakan PLB membuat importir-importir bisa berbuat curang dan memperbesar impor. Belum lagi barang-barang e-commerce yang sangat deras masuk ke Indonesia,\" kata Huda kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (15/10). Menurut dia, kenapa Cina masih mendomonasi pasar di Indonesia, lantaran jaringan e-commerce yang kuat di pasar Indonesia. \"Cina sangat diuntungkan karena mempunyai jaringan pasar e-commerce di Indonesia. Barang-barang dari China begitu mudah masuk ke Indonesia lewat PLB,\" tukas dia.(din/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: