Berita Panjang
Oleh : Dahlan Iskan WARTAWAN lama tidak akan bisa melakukan ini: memuat berita yang panjangnya ampun-ampun. Satu berita berisi 700 nama. Yakni, semua nama pelaku sebuah tindakan kriminal-politis. Lengkap dengan riwayat hidup singkat dan ringkasan peristiwanya. Era koran tidak mungkin melakukan itu. Kalau berita seperti itu dimuat di sebuah koran, tentu sangat membosankan. Bayangkan, panjang satu berita bisa sampai enam halaman koran. Zaman digital telah mengubah semuanya. Berita online memungkinkan untuk itu. Tidak perlu beli kertas. Tinggal apa kata pembaca. Terserah mereka: mau membaca seluruhnya atau membaca bagian yang diinginkan saja. Harian USA Today, Amerika Serikat, melakukan itu –untuk edisi online-nya pekan lalu. Harian itu memuat lengkap siapa saja yang ditangkap polisi di pendudukan gedung DPR Amerika 6 Januari setahun lalu. Tentu yang dipanggil polisi lebih banyak lagi. Tapi, 700 orang itulah yang diproses sampai tingkat menjadi tersangka. Mereka itu berasal dari 41 negara bagian –dari 52 negara bagian yang ada. Ada masih ingat: hari itu ribuan orang pawai dari sebuah lapangan menuju gedung Capitol. Mereka meneriakkan yel-yel mendukung Presiden Donald Trump. Mereka membawa dan memakai atribut MAGA –make America great again. Yakni, slogan kampanye Trump. Mereka menerobos barikade untuk memasuki Capitol. Banyak juga yang memanjat dinding. Lalu, menghancurkan kaca-kaca pintu dan jendela. Mereka menduduki Capitol sampai malam. Sampai ada yang duduk di kursi Ketua DPR Nancy Pelosi. Sasaran mereka: menggagalkan pengesahan Joe Biden sebagai presiden terpilih berikutnya. Sidang pengesahan itu dipimpin Wakil Presiden (saat itu) Mike Pence. Mereka akan menekan pimpinan sidang agar jangan melakukan pengesahan. Mike Pence meninggalkan ruang sidang. Ia mengungsi ke bagian lain gedung itu. Selebihnya, Anda sudah tahu. Sebelum berangkat ke Capitol, mereka –di lapangan tadi– mendengarkan orasi dari berbagai tokoh Partai Republik. Lapangan itu berada di tengah antara Gedung Putih dan gedung DPR. Orasi-orasi itu umumnya berisi: Pemilu curang, kemenangan Trump telah dirampok, Mike Pence pengkhianat, dan sebangsa itu. Trump memberikan orasi belakangan. Kata-katanya, seperti biasa, membakar semangat. Kata-kata tersebut kini dijadikan bukti: bahwa Trump-lah yang menyuruh mereka menyerbu Capitol. Misalnya, ada kata-kata ”pergilah ke Capitol”. Ada lagi kata-kata ”tunjukkan kekuatan”. Lalu, ”bertempurlah habis-habisan”. Untuk yang terakhir itu, saya perlu bantuan terjemahan yang lebih pas dari kalimat ”fight like hell”. Kata-kata itulah yang sedang diuji oleh hukum Amerika Serikat. Apakah itu bisa ditafsirkan sebagai undangan: kedatangan ribuan orang ke Capitol akibat kata-kata itu. Saksi banyak: dari mereka yang diperiksa polisi, banyak yang mengatakan mereka masuk Capitol karena diundang presiden. Ujian kedua: apakah kata-kata itu termasuk kebebasan berbicara atau tidak. Trump ngotot mengatakan itu bagian dari kebebasan yang dijamin konstitusi negara. Banyak juga di antara yang ditangkap beralasan apa yang mereka lakukan di Capitol adalah bagian dari ekspresi yang dijamin konstitusi. Ujian ketiga: apakah itu ucapan seorang presiden yang lagi menjabat atau itu ucapan pribadi yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Kongres Amerika memang lagi menyelidiki pendudukan gedung wakil rakyat itu. Sudah bersidang puluhan kali. Sudah pula memanggil lebih dari 50 orang untuk dimintai keterangan. Salah satunya: Kepala Staf Gedung Putih di zaman Trump. Sang jenderal tidak mau menyerahkan e-mail apa saja yang pernah ia terima dari Gedung Putih. Sampai sang jenderal ditetapkan telah melanggar hukum: mengabaikan/menghina parlemen. Semua hasil pemeriksaan tim penyelidik memang mengarah ke Trump. Bahwa harus lewat begitu banyak yang harus diperiksa itu ibarat makan bubur: harus dari pinggirnya. Bukan hanya parlemen yang akan memanggil Trump –pada saatnya. Pun pengadilan. Berbagai gugatan perdata sudah diajukan ke pengadilan. Yang mengajukan adalah anggota DPR dari Demokrat. Yang hari itu sampai merasa terancam keselamatan mereka. Saya mencoba membaca berita yang amat panjang di USA Today itu: tidak kuat. Tidak menarik. Tidak ada satu pun dari 700 nama itu yang saya kenal. Semuanya kan orang Amerika. Saya mengagumi kerja jurnalistik seperti itu: menyajikan secara utuh 700 nama tersangka lengkap dengan nama, umur, asal, dan apa yang mereka lakukan selama lebih dari 5 jam menduduki gedung parlemen. Saya pernah melakukan ”kegilaan” jurnalistik mirip itu. Yakni, memuat satu berita yang panjangnya sampai lima halaman koran. Anehnya, koran justru laris. Jadi buah bibir pula. Meski sangat panjang, beritanya sendiri memang menarik. Ada unsur seks, pembunuhan, harta, dan pangkat. Yakni, ketika seorang wanita, germo para pelacur di Gang Doly, disidangkan di pengadilan Surabaya: dia membunuh beberapa orang dengan bantuan seorang kolonel. Lokasi pembunuhan di kompleks pelacuran terbesar se-Asia Tenggara itu –sudah ditutup Wali Kota Bu Risma. Saya minta kepada wartawan untuk memuat apa adanya semua yang diucapkan hakim, jaksa, pembela, dan terdakwa di sidang pengadilan. Wartawannya tidak perlu mikir panjang. Di bagian pertama hanya perlu menulis seperti umumnya skenario film. Hakim diperankan oleh siapa. Jaksa oleh siapa. Pembela oleh siapa. Terdakwa siapa. Penulisnya siapa. Selebihnya berupa kutipan tanya jawab. Termasuk dialog-dialog transaksi seks yang lucu-lucu. Waktu itu belum ada TV yang bisa live dari ruang sidang. Atau belum mau. Itu gaya jurnalisme yang tidak mungkin lagi dilakukan sekarang. Tapi, kini saya berpikir ulang: apa pentingnya jurnalisme seperti itu. Hanya soal memuaskan selera pembaca. Beda dengan yang dilakukan USA Today saat ini: yang penuh perjuangan hukum dan demokrasi. (Dahlan Iskan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: