Bukti KPK Tak Lemah
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) beruntun dua pekan belakangan. Ini membuktikan KPK tidak pernah dilemahkan. Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan OTT beruntun yang dilakukan KPK belakangan ini sebagai bukti lembaga antirasuah itu tak pernah dilemahkan. Revisi Undang-Undang (UU) KPK yang telah dilakukan tidak membuat KPK melemah. \"OTT terjadi beruntun belakangan ini membuktikan bahwa revisi UU KPK tidak membuat KPK lemah. Ini sekali lagi membuktikan mereka yang selalu berteriak-teriak di ruang publik bahwa dengan revisi UU KPK itu melumpuhkan atau membunuh KPK tidak benar,\" katanya melalui pesan singkat, Minggu (6/12). Ditambahkan anggota Komisi III DPR itu, banyaknya atau tidaknya OTT bukan dipengaruhi oleh Undang-Undang. Namun, oleh sikap dan arah pemberantasan korupsi dari pimpinan KPK dan jajaran-nya. \"Tidak ditentukan oleh revisi UU, tapi oleh sikap dan arah pemberantasan korupsi dari pimpinan KPK dan jajaran-nya. Artinya apakah OTT akan jadi satu prioritas kebijakan atau tidak,\" jelasnya. Senada diungkapkan Pakar hukum Universitas Airlangga Surabaya Suparto Wijoyo. Dia mengatakan revisi Revisi Undang-Undang (UU) KPK bukan halangan bagi KPK untuk melakukan penegakan hukum yang lebih kuat. \"Dengan penetapan dua menteri, wali kota, dan bupati menjadi tersangka menunjukkan revisi UU bukan halangan bagi lembaga antirasuah tersebut melakukan penegakan hukum yang lebih kuat,\" terangnya. Diungkapkannya, sepak terjang KPK beberapa minggu ini seakan memberi kejutan atau bonus akhir tahun bagi bangsa Indonesia. Sebab sejak revisi UU KPK masyarakat punya rasa skeptisisme terhadap kinerja KPK secara institusional. \"KPK menunjukkan bahwa revisi kemarin yang secara prosedural berjenjang, seperti Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan penyadapan harus melalui dewan pengawas itu tidak menjadi halangan secara subtansial,\" kata pria berusia 52 tahun itu. Dengan peristiwa OTT dua menteri, wali kota, dan bupati, telah membangunkan kembali optimisme publik bahwa pemberantasan korupsi oleh KPK masih punya titik cerah. Suparto mengatakan, tindak pidana korupsi yang tidak mengenal musim. Meski di musim pandemi COVID-19, korupsi tetap saja ada. Bahkan yang mengejutkan dugaan tindak korupsi bantuan sosial (bansos) oleh Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. \"Ini sangat brutal. Selain karena penggarongan uang negara yang dilakukan saat pandemi, rakyat kesusahan dan Presiden Joko Widodo telah memberikan perhatian serius untuk mengatasi pandemi. Presiden melakukan realokasi anggaran di APBN untuk mengatasi pandemi dan bukan untuk \\\'disimpeni\\\',\" katanya. Berbeda yang diungkapkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Meski mengapresiasi, dia menilai OTT merupakan upaya maksimal KPK di tengah kesulitan setelah adanya Undang-Undang (UU) KPK yang baru. \"ICW berpandangan tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK pada sepanjang tahun 2020 ini merupakan upaya maksimal para pegawai di tengah kesulitan pasca-adanya UU KPK baru. Maka dari itu, ICW mengapresiasi komitmen dan kesungguhan dari para pegawai KPK,\" katanya. Menurutnya, UU KPK hasil revisi tetap memperlambat upaya paksa berupa penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan sebab terdapat mekanisme perizinan Dewan Pengawas. Kemudian, UU KPK tersebut juga membuka kemungkinan bagi KPK menghentikan perkara melalui penerbitan surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3). \"Intinya, seluruh aspek penindakan yang disinggung dalam UU KPK baru secara terang-benderang menyulitkan langkah pegawai KPK,\" kata dia. Dia menilai usai OTT, akan ada sejumlah permasalahan berikutnya yang harus dihadapi KPK. Dikatakannya, apakah langkah para penyidik dan penyelidik KPK tersebut mendapat dukungan dari para pimpinan KPK. \"Pasca tangkap tangan ini, masalah selanjutnya adalah apakah seluruh pimpinan mendukung langkah tim penindakan?,\" tanyanya. Dia mencontohkan kasus Harun Masiku yang masih buron hingga kini. Dia menilai dalam kasus tersebut, pimpinan KPK tak mendukung upaya tim penyidik daan penyelidik. \"Ini penting, sebab berkaca pada kasus Harun Masiku, terlihat tidak ada dukungan dari sebagian besar pimpinan KPK terhadap tim penyelidik maupun penyidik,\" katanya. Sebagai salah satu buktinya, kata Kurnia, adanya pemulangan paksa Kompol Rossa, perombakan tim satuan tugas, dan pembiaran dugaan penyekapan di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). ICW berharap, hal-hal semacam itu tidak terjadi lagi pada kasus-kasus yang saat ini sedang ditangani oleh KPK. Selain itu, mayoritas pimpinan KPK saat ini terlihat hanya menitikberatkan pemberantasan korupsi melalui mekanisme pencegahan. Termasuk adanya dengan rencana alih status kepegawaian KPK yang akan semakin menyulitkan langkah KPK ke depan. \"Bukan tidak mungkin di masa yang akan datang, KPK akan tunduk pada salah satu cabang kekuasaan dengan adanya alih status ini,\" katanya. Menurut ICW, UU KPK hasil revisi tetap memperlambat upaya paksa berupa penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan sebab terdapat mekanisme perizinan Dewan Pengawas. Kemudian, UU KPK tersebut juga membuka kemungkinan bagi KPK menghentikan perkara melalui penerbitan surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3). \"Intinya, seluruh aspek penindakan yang disinggung dalam UU KPK baru secara terang-benderang menyulitkan langkah pegawai KPK,\" kata dia. (gw/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: