Camping Mewah Jadi Alternatif Wisata Alam
Beberapa Homestay Mulai Lirik Peluang Bisnis Meskipun bukan lagi hal baru dalam wisata alam dengan glamp camp, memang tengah digencarkan lewat gerakan Nomadic Tourism atau wisata nomaden yang pernah dipaparkan Menteri Pariwisata sejak 2018 lalu. Dari sisi pengertiannya, glamp camp ialah camping dengan gaya yang mewah atau berbeda dengan camping biasanya. Seperti apa? ERWIN ABDILLAH, Wonosobo Bahkan belum lama ini, konsep camping yang tidak biasa itu mulai dibesut oleh pengelola kawasan wisata Bukit Cinta Seroja di kawasan Telaga Menjer Garung. Menurut Agus Purnomo, salah satu inisiator dan penggiat wisata, kini glamp camp sudah mulai dibuka dengan biaya yang cukup murah. Yakni biaya per tenda sekitar Rp 400.000 untuk kapasitas 4 orang yang umumnya diisi satu keluarga. “Glamp Camp itu sekarang dengan fasilitas sarapan, makan malam, ngopi, mandi air panas. Bahkan ada juga jasa pijat. Kita bisa menikmati pemandangan Telaga Menjer di pagi hari dan untuk keperluan lain seperti toilet dan sebagainya sudah disediakan,” ungkapnya kemarin. Jenis wisata ini memang diperuntukan bagi mereka yang tidak ingin repot dengan semua hal rumit yang harus disiapkan sebelum berkemah di alam terbuka. Bahkan untuk fasilitas lain, yakni selain tempat tidur, para wisatawan masih bisa menikmatinya seakan di hotel. “Glamp Camp atau glamping alias glamorous camping memang didesain agar wisatawan nyaman merasakan sensasi tidur di luar ruangan, namun tanpa perlu repot memasak atau mendirikan tenda. Meskipun dari sisi biaya memang beda dengan camping biasa, tapi mereka tidak perlu repot dan bisa merasakan sendiri bagaimana suasana alam di kawasan wisata,” ungkap Joko, salah satu pengelola. Meskipun konsep tersebut tergolong baru di Wonosobo, namun beberapa pengelola wisata sudah mulai mengenalkan dan menyediakan pilihan. Bahkan di beberapa kawasan di Dieng, ada beberapa honmestay yang sengaja menyediakan fasilitas camping ground di halaman homestay untuk para pengunjung yang lebih memilih tidur di luar ruangan. “Kadang ada yang ingin menikmati dinginnya udara malam dan pagi di Dieng selayaknya mereka yang tengah mendaki gunung. Sehingga kesempatan dan momentum ini kita ambil untuk ditawarkan ke pengunjung. Mereka yang sudah membayar seharga jasa homestay tidak dikenakan tambahan biaya lain. Dan menjelang Dieng Culture Festival ini sudah banyak yang memesan,” ungkap Muhammad Raffi salah satu pengelola homestay di kawasan Dieng Kulon. Tren tersebut menurut Raffi juga menjadi salah satu pilihan bagi mereka yang jenuh dengan tinggal di homestay maupun ingin mengabadikan langit atau suasana alam. “Yang banyak ditanyakan termasuk bun upas yang biasanya mulai bulan Juli atau Agustus,” pungkasnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: