Cerita Masa Lalu Wonosobo di Zaman Jepang

Cerita Masa Lalu Wonosobo di Zaman Jepang

Dijajah Halus, Tari Lengger Jadi Alat Propaganda Seni budaya di Wonosobo dipegang kuat oleh masyarakat pegunungan ini sejak dulu. Buktinya, saat era penjajahan Jepang, pemerintah kolonial Jepang menggunakan kesenian lengger untuk menguasai masyarakat setempat. Kesenian tersebut dijadikan sebagai alat propaganda. AGUS SUPRIYADI, Wonosobo HAL tersebut tertulis dalam buku sejarah Wonosobo edisi II 2008. Dalam buku itu disebutkan bahwa wilayah Wonosobo awal tahun 1942 berada dalam kondisi yang tidak menentu akibat ketidakstabilan poiltik. Dampak dari Perang Dunia II dan krisis ekonomi. Jepang  masuk ke Wonosobo pada 8 Maret 1942, melalui jalur sebelah timur, atau Kecamatan Kertek. Hal tersebut membuat Belanda yang hendak menahan laju pergerakan Jepang merasa kecele. Pasalnya mereka sudah membuat barikade penahan di kawasan utara Wonosobo. Akibat kesalahan perkiraan tersebut masuknya Jepang ke Wonosobo tidak mendapat perlawanan sama sekali. Tentara Belanda di Wonosobo tidak kuasa dan menyerahkan diri. Bahkan Bupati Wonosobo kala itu, R Inggih Hadipoero menyambut baik tentara Jepang. Tentara Jepang menduduki pendopo kabupaten dan hotel yang ditinggalkan tentara Belanda.  Tentara Jepang dianggap sebagai teman atau saudara yang berjasa membebaskan mereka dari cengkraman kolonial Belanda. Dalam waktu satu minggu, tentara Jepang langsung melakukan konsolidasi wilayah, dengan menempatkan orang-orangnya untuk mengendalikan kekuasaan. Bahkan tentara Jepang juga  menggunakan kesenian lengger untuk alat propaganda kepentingan terhadap masyarakat Wonosobo. Empat bulan berkuasa, pemerintah Jepang mulai menunjukkan watak aslinya. Seluruh aset yang ditinggalkan Belanda dikuasainya. Hal sama juga untuk posisi jabatan pemerintah yang boleh ditempati oleh pribumi hanya kades, wedana dan camat. Sedangkan posisi bupati dikuasai oleh orang Jepang. Pemerintah Jepang juga bertindak ekspolitatif terhadap penduduk ribumi Wonosobo. Hasil panen padi varietas unggul di harus disetor kepada pemerintah Jepang untuk keperluan perang. Caranya dengan meminta para pamong  desa memeriksa hasil panen petani di setiap rumah. Para petani harus menyerahkan minimal 30 persen untuk diserahkan kepada Jepang. Sedangkan 40 persen baru boleh dinikmati mereka. Kondisi tersebut semakin parah memicu kelaparan lantaran banyak petani penggarap yang tidak mempunyai sawah sendiri. Tidak hanya hasil panen, tentara Jepang juga semakin ekploitatif memeras masyarakat Wonosobo. Ternak dan juga perhiasan milik masyarakat dirampas untuk kepentingan tentara Jepang. Masyarakat disuruh untuk menjadi romusha. Sementara yang lain diikutkankan dalam wajib iliter . Pemerintah Jepang mengendalikan kekuatannya melalui lembaga kemasyarakatan yang mereka bentuk, yaitu rukun tetangak dan koperasi. Ekspolitasi tersebut baru berhenti setelah Jepang menyerah pada sekutu dengan ditandai  pengeboman Hirosima dan Nagasaki pada pertengahn bulan Agustus 1945. Wakil Ketua DPRD Wonosobo Muhammad Albar berharap literasi terkait sejarah Wonosobo perlu diangkat oleh OPD terkait agar generasi muda, utamanya pelajar semakin memahami dan mengerti sejarah tempat tinggalnya. “Saya kira perlu ada literasi terkait sejarah Wonosobo secara lebih inten, pemkab melalui OPD terkait perlu memikirkan dan mengupayakan hal itu, agar ada kebanggaan menjadi warga wonosobo,” katanya. (*)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: