Dana Haji Jangan untuk Intervensi Pasar

Dana Haji Jangan untuk Intervensi Pasar

JAKARTA - Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu menegaskan pernyataannya tentang penggunaan dana haji USD 600 juta untuk memperkuat nilai tukar rupiah, bukan alasan pembatalan pemberangkatan jamaah haji 2020. Dia menyebutkan skema penguatan nilai tukar rupiah dengan dana haji jika penyelenggaraan perhajian dibatalkan, sempat diucapkan pada 26 Mei 2020 lalu. Hal itu disampaikan Anggito sebagai bagian dari ucapan silaturahim halalbihalal BPKH secara daring dengan Gubernur dan jajaran Deputi Gubernur Bank Indonesia. \"Tidak benar jika ada anggapan skema penguatan rupiah dengan dana haji merupakan alasan pemerintah membatalkan pemberangkatan jamaah haji Indonesia ke Arab Saudi. Dana Haji USD 600 juta tidak terkait dengan pembatalan haji 2020,\" tegas Anggito di Jakarta, Rabu (3/6). Seperti diketahui, Selasa (2/6), Menteri Agama Fachrul Razi mengumumkan pembatalan pengiriman calon haji Indonesia. Alasannya untuk menekan potensi penularan COVID-19 di antara jamaah. Selain itu, sejumlah negara di berbagai belahan dunia juga belum mengalami tanda-tanda penurunan. Anggito menyatakan dirinya sama sekali tidak pernah memberikan pernyataan terkait dengan pembatalan haji 2020. Apalagi menyangkut dana USD 600 juta tersebut. \"Dana tersebut memang tersimpan di rekening BPKH. Jika tidak dipergunakan untuk penyelenggaraan ibadah haji akan dikonversi ke dalam mata uang rupiah dan dikelola BPKH,\" lanjutnya. Dana konversi rupiah itu, lanjutnya, tetap akan tersedia dalam rekening BPKH. Selanjutnya dipergunakan dalam menunjang penyelenggaraan ibadah haji. Anggito menegaskan seluruh dana kelolaan jamaah haji senilai lebih dari Rp135 triliun per Mei 2020 dalam bentuk rupiah dan valuta asing dikelola secara profesional pada instrumen syariah yang aman dan likuid. Sementara itu, pengamat ekonomi syariah Azis Budi Setiawan mendorong BPKH menginvestasikan dana haji USD 600 juta untuk menambah manfaat bagi jamaah calon haji. “Boleh dampaknya nanti memperkuat ekonomi nasional atau memperkuat stabilitas. Tetapi secara prinsip BPKH sebagai pengelola harus lebih utama memikirkan nilai manfaat yang diterima jamaah haji,” ujar Azis di Jakarta, Rabu (3/6). Akademisi Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI tersebut menjelaskan secara tidak langsung dengan adanya dana USD 600 juta, dinilai sudah mendukung ketersediaan likuiditas USD di pasar dalam negeri. Namun, BPKH tetap harus memutar dana haji itu. Ssehingga menghasilkan imbal hasil yang menarik. Untuk selanjutnya dapat mendukung biaya penyelenggaraan ibadah haji tahun berikutnya sesuai dengan amanat undang-undang terkait haji. \"BPKH perlu mengarahkan instrumen investasi yang aman dengan tingkat keuntungan yang menarik. Di antaranya surat berharga negara (SBN) terutama yang berbasis syariah. Jangan sampai misalnya ditempatkan tidak pada investasi yang baik. Sehingga dana malah menyusut karena tergerus inflasi,” terangnya. Per tahun, kata Azis, biaya penyelenggaraan haji mencapai rata-rata sekitar Rp10-12 triliun dengan biaya per orang mencapai sekitar Rp65 juta. Namun, calon jamaah haji hanya membayar sekitar Rp35 juta-Rp40 juta. Sisanya disubsidi pemerintah dari dana hasil investasi tersebut. Terpisah, Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan tidak setuju apabila dana haji digunakan untuk keperluan intervensi pasar yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada masa pandemi COVID-19. \"Bank Indonesia seharusnya melakukan intervensi pasar dan memperkuat rupiah menggunakan dana cadangan devisa yang dimiliki,\" tegas Syarief di Jakarta, Rabu (3/6). Daia menilai kekecewaan dari para calon jamaah haji memang berdasar. Karena mereka telah mengantre dan menabung sejak lama untuk mendapatkan kesempatan berangkat ke Tanah Suci. Bahkan, ada yang telah berpuluh tahun menunggu kesempatan. Namun tidak dapat berangkat haji . Meski kecewa, masyarakat tentu paham dengan kondisi genting saat ini. \"Pemerintah tidak boleh menambah kekecewaan masyarakat dengan menggunakan dana haji untuk keperluan lain. Termasuk wacana pemakaian dana haji sebesar Rp8,7 triliun oleh Bank Indonesia,\" paparnya. Politisi Partai Demokrat itu menjelaskan untuk intervensi pasar dapat menggunakan cadangan devisa Bank Indonesia yang mencapai USD 127,9 miliar. Seharusnya dana tersebut cukup untuk memulihkan ekonomi akibat pandemi COVID-19. \"Masyarakat dan DPR RI telah memberikan peluang untuk membuat berbagai kebijakan melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Pemerintah harus mengoptimalkan peluang tersebut untuk penyelesaian pandemi COVID-19 dan dampak ekonomi yang mengikutinya,\" paparnya.(rh/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: