Desa Fiktif Bikin Istana Gerah , Kasus Ditangani KPK dan Polda Sulteng

Desa Fiktif Bikin Istana Gerah , Kasus Ditangani KPK dan Polda Sulteng

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Munculnya desa fiktif atau siluman terkait pemberian dana desa membuat istana gerah. Pemerintah langsung menerjunkan tim untuk menyelidiki kabar dugaan desa fiktif tersebut. \"Tim komunikasi kepresidenan juga tengah mengumpulkan informasi tentang apa yang berkembang. Ada yang mengatakan 70.400 desa. Ada dana yang tidak sampai atau ada desa yang tidak ada,\" kata juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (7/11). Keterangan yang dikumpulkan itu akan diteruskan kepada Mensesneg Pratikno untuk ditindaklanjuti. Menurut Fadjroel, laporan dari beberapa kementerian yakni Kementerian Keuangan, serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menjelaskan dugaan desa fiktif tersebut. \"Kami kumpulkan data, apakah nyata ada di lapangan,\" imbuhnya. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kemunculan desa-desa baru sebagai imbas adanya kucuran dana desa. Di depan anggota Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (4/11), Sri Mulyani mengungkapkan ada laporan banyak desa baru tak berpenduduk yang dibentuk agar bisa mendapat kucuran dana desa secara rutin tiap tahun. Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polda Sulawesi Tenggara juga menangani dugaan kasus korupsi dana desa fiktif tersebut. Perkara yang ditangani tersebut adalah dugaan tindak pidana korupsi membentuk atau mendefinitifkan desa-desa yang tidak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen yang tidak sah. Hal itu mengakibatkan kerugian keuangan negara atas Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang dikelola beberapa desa di Kabupaten Konawe Tahun Anggaran 2016 sampai 2018. Diduga ada 34 desa yang bermasalah. Tiga desa di antaranya fiktif. Sedangkan 31 desa lainnya ada. Namun, surat keputusan pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur. Versi Kemendagri, hanya ada empat desa fiktif. Ini setelah tim Kemendagri turun ke lapangan melakukan penelusuran. Sementara itu, Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Aferi Syamsidar Fudail mengatakan kalau peraturan daerah yang membentuk desa siluman tidak mengacu aturan jumlah penduduk di Undang-Undang (UU) Desa. \"Kabupaten itu memberikan penegasan bahwa desa merupakan daerahnya. Tanpa melihat sisi kependudukan karena waktu itu belum ada syarat kependudukan,\" jelas Aferi. Bahkan, tanpa menyebut nama desa, ada satu desa yang jumlah Kepala Keluarga (KK) hanya ada tujuh. Padahal menurut aturan Pasal 8 ayat 3 UU Desa menyebutkan kalau pembentukan desa baru di wilayah Sulawesi Tenggara harus memiliki minimal 400 KK atau 2.000 jiwa. Dulu Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri menerima usulan pemekaran itu di tahun 2011. Tepatnya sebelum adanya UU Desa nomor 6 tahun 2014. \"Ini Perda nomor 7 tahun 2011. Artinya Perda pemekaran sebelum UU nomor 6. Jadi syarat pembentukannya tidak mengacu pada UU nomor 6,\" paparnya. Dia mengatakan tujuan empat desa itu ditetapkan oleh pemerintah daerah saat itu adalah memastikan keempatnya sebagai bagian daerah Kabupaten Konawe yang berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Utara. \"Itu memastikan kalau daerah-daerah itu tidak diambil Kabupaten lain. Sehingga wilayahnya tetap berada dalam Kabupaten Konawe,\" tukasnya. Adapun nama-nama ke empat desa tersebut adalah Desa Larehoma di Kecamatan Anggaberi, Desa Wiau di Kecamatan Routa, Desa Arombu Utama di Kecamatan Latoma serta Desa Napooha di Kecamatan Latoma.(rh/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: