Digusur, Pemulung Tidar Utara Mampu Beli Tanah Sendiri
MAGELANGEKSPRES.COM,MAGELANG SELATAN - Para pemulung yang menjadi korban penggusuran, enggan untuk menghuni rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Tidar. Mereka beralasan tidak mau untuk beralih profesi di luar pemulung, meski Pemkot Magelang menawarkan berbagai fasilitas di Rusunawa, bila mereka bersedia direlokasi. Para pemulung ini sebelumnya menempati secara ilegal kawasan Jalan Soekarno Hatta. Kemudian pada akhir tahun 2018 lalu, Pemkot Magelang melakukan berbagai upaya seperti musyawarah hingga dialog, sebelum bangunan liar itu dibongkar. Pendekatan humanis yang dilakukan pemerintah tampaknya membuat para pemulung bergeming. Hingga akhirnya, pada Oktober 2018 lalu, Pemkot dan aparat gabungan membongkar bangunan liar semi permanen yang telah ditinggali selama belasan tahun. Mayoritas para pemulung itu, saat ini masih tinggal di Kota Magelang. Meski mereka menolak direlokasi ke Rusunawa. Baca Juga Puting Beliung di Temanggung Rusak Dua Rumah Mereka kini menempati bangunan sederhana di Kampung Kiringan, Kelurahan Tidar Utara, Magelang Selatan. Masyarakat yang menempati lahan seluas 2.000 meter persegi itu berjumlah 10 kepala keluarga (KK), menamai lingkungan baru itu dengan Kampung Kiringan Baru. ”Setelah kami kena gusur karena dulu menempati tanah bengkok di belakang Pos Patwal (Jalan Soekarno-Hatta), kami patungan membeli lahan. Harga tanah keseluruhan Rp180 juta seluas 2.000 meter persegi. Kami bayar secara iuran dibagi 20 orang. Tapi rata-rata hanya mampu beli separuhnya saja,” kata Suroso (45) salah satu warga yang tinggal di kawasan tersebut kepada wartawan, Selasa (7/1). Pemandangan itu berada di bawah SPBU Jalan Soekarno-Hatta Kota Magelang. Dari SPBU ini terlihat bangunan rumah yang kebanyakan atapnya seng dan ukuran rumahnya kecil-kecil dengan terpasang parabola di atapnya. Akses menuju kampung ini masih sangat primitif karena harus melewati jalan setapak. Kendaraan seperti sepeda motor bahkan tidak bisa melewatinya. Terlebih ada jembatan yang terbuat dari bambu, sehingga tidak memungkinkan Kampung Kiringan Baru bisa diakses kendaraan. Suroso mengaku, dia dan bersama keluarga sejak Juli 2018 menempati lahan seluas 10 x 10 meter persegi yang dibelinya. Usai bangunan liar kepunyaannya diwacanakan akan dibongkar, dia diberi waktu selama 4 bulan untuk mencari lahan baru. Nasib beruntung masih dirasakan Suroso dan keluarganya. Dia mendapatkan lahan sekitar 2.000 meter persegi itu dengan harga Rp180 juta. ”Alhamdulillah, kami bisa menempati rumah, walaupun bangunan ala kadarnya seperti ini (kayu beratap seng),” tuturnya. Baca Juga Isi Kursi Kadis, Bupati Magelang Lantik 10 Pejabat PTP Rata-rata 10 rumah yang sudah berdiri saat ini, para penghuninya bekerja sebagai pemulung. Namun perjalanan mereka untuk mendapatkan fasilitas seperti masyarakat pada umumnya, tidak mudah begitu saja. Suroso dan tetangganya bahkan harus merasakan hidup tanpa listrik selama satu tahun lebih. Sedangkan pasokan air PDAM baru datang 3 bulan pascabangunan ditempati. ”Dari pada kami diminta alih profesi untuk menempati Rusunawa, mendingan tetap seperti ini. Lagian kami jadi pemulung sejak tahun 1990an. Sudah lama,” ujarnya. Kampung Kiringan Baru ini terdapat satu kamar mandi umum bantuan dari Universitas Muhammadiyah (UM) Magelang. Kemudian, setiap Selasa dan Jumat, sejumlah mahasiswa dari UM Magelang juga mengajari anak-anak untuk menulis dan membaca maupun keagamaan. Warga lainnya, Sri Mudrikah (56) mengaku, senang sekali lahan yang ditempati sudah menjadi miliknya. ”Tenteram juga rasanya karena sudah punya lahan sendiri. Pas belum ada PLN ya kita pakai sentir (lentera),” paparnya. Sementara itu, Kepala Kelurahan Tidar Utara, Tenny Lis Mulyadi mengatakan jika secara administrasi, warga yang bermukim di Kampung Kiringan Baru, tercatat dalam Kampung Kiringan, RT 02 RW 02. ”Kampung Kiringan Baru ini sebenarnya bukanlah kampung, tetapi karena ada penduduk yang bermukim di sana, sehingga menamainya,” ungkapnya. Meski menempati lahan dan bangunan yang sederhana, dia mengaku bersyukur karena kini warga tidak perlu khawatir dengan penggusuran. Lahan yang mereka tempati sudah menjadi hak milik dan bukan lagi lahan liar. ”Mereka tinggal di sana itu juga membeli tanah sendiri, jadi itu sudah menjadi hak mereka,” ujarnya. (wid)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: