Dilarang Jenguk

Dilarang Jenguk

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Presidium dan sejumlah pejabat tinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) mendatangi Mabes Polri untuk menjenguk anggotanya yang ditangkap dan ditahan polisi. Akan tetapi mereka dilarang menjenguknya. Presidium KAMI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo bersama sejumlah pejabat KAMI, Din Syamsuddin, Rocky Gerung, Ahmad Yani, dan Rochmat Wahab mendatangi Mabes Polri. Mereka ingin menjenguk dan para aktivis KAMI yang ditangkap. \"Kami kan bertamu untuk meminta izin menengok (tersangka petinggi KAMI). Kami menunggu sampai ada jawaban,\" ujar Gatot Nurmantyo, di Mabes Polri, Kamis (15/10). Sayangnya, mereka tak diperkenankan untuk menemui para aktivis KAMI yang ditahan di Rutan Bareskrim. Gatot mengaku tak mengetahui alasan tak diberikan izin atas kedatangannya untuk bertemu dengan Kapolri Jenderal Idham Azis dan menegok anggota KAMI yang ditahan. \"Tidak tahu, ya pokoknya tidak dapat izin, ya tidak masalah,\" paparnya. Ditambahkan anggota Komite Eksekutif KAMI Ahmad Yani kedatangannya juga untuk mengetahui proses penangkapan dan pemeriksaan para aktivis KAMI. \"Kedatangan kami di sini, di samping menengok kawan-kawan, kami menyampaikan tentang proses penangkapan dan pemeriksaan yang dialami kawan kami,\" katanya yang juga sebagai kuasa hukum para tersangka. Yani menuturkan pada awalnya pihak dari kuasa hukum kesulitan mengakses informasi dan mendampingi para aktivis KAMI yang ditangkap polisi. \"Berdasarkan fakta, kami melihat ada kejanggalan dalam proses penangkapan dan menaikkan ke penyidikan,\" katanya. Dikatakannya, kejagalan dapat dilihat berawal laporan kepolisian atas kasus ini dibuat pada Senin, 12 Oktober. Dua hari setelahnya pada 14 Oktober surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) keluar. \"Pada hari yang sama, pada sekitar pukul 04.00, Syahganda Nainggolan ditanggkap,\" ungkapnya. Dijelaskannya, jika memang paling awal saja, sprindik keluar pada pukul 00.00 WIB, maka dalam tempo empat jam, Syanganda langsung ditangkap. \"Pertanyaan kami apakah sudah gelar perkara, apakah sudah minta keterangan ahli bahasa soal narasi dan diksi (media sosial) Syahganda,\" katanya. Yani juga mempertanyakan apakah penyidik sudah meminta keterangan ahli pidana. Selain itu Syahganda belum pernah dimintai keterangan sebagai tersangka kasus. Sedangkan untuk Jumhur Hidayat, ditangkap tanpa surat penangkapan. Jumhur ditangkap tak lama setelah keluar dari rumah sakit untuk menjalani usai operasi. \"(Jumhur) Digeledah, dibawa. Baru setelah itu istrinya ke sini baru dikeluarkan surat penangkapan,\" ujarnya. Sebagai kuasa hukum, dirinya juga sulit untuk bertemu. Menanggapi itu, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono menjelaskan alasan para aktivis KAMI yang sedang ditahan di Rutan Bareskrim belum diperkenankan dijenguk. Alasannya karena mereka masih dalam pemeriksaan. \"Namanya orang mau menengok, ada jadwalnya. Kalau masih dalam pemeriksaan, kami tidak izinkan. Penyidik masih bekerja, kita harus hormati,\" katanya. Sebelumnya Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane juga mengkritik penangkapan para kativis KAMI. Menurutnya, penangkapan sangat kental nuansa politiknya. \"IPW melihat kasus Syahganda Cs ini lebih kental nuansa politisnya. Penangkapan itu bertujuan jadi \\\'efek kejut\\\' bagi kelompok yang kerap mengkritik pemerintah itu, terutama terkait UU Ciptaker yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober lalu,\" ujarnya dalam keterangan tertulisnya. Dia pun ragu kasus ini akan berlanjut hingga ke pengadilan. Dalam hal ini, Neta berkaca pada serangkaian kasus penangkapan aktivis serupa seperti Eggi Sudjana hingga Hatta Taliwang oleh polisi dengan tuduhan makar sebelumnya. \"Penangkapan ini sama seperti dilakukan rezim Jokowi terhadap Hatta Taliwang cs mapun Eggi Sudjana cs yang dilakukan saat akan terjadinya aksi demo besar di periode pertama pemerintahan Jokowi,\" ujarnya. Kasus yang dialami Hatta hingga Eggi itu, selama ini pun tak dibawa ke pengadilan untuk disidangkan. \"Akhirnya semua tertuduh dibebaskan. Kasusnya tidak sampai dilanjutkan ke pengadilan. Padahal tuduhannya sangat serius, yakni makar. Tapi kok tidak lanjut ke pengadilan. Sebab rezim Jokowi pun tidak yakin dengan tuduhan makarnya, sehingga setelah ditahan beberapa minggu para aktivis kritis tersebut dibebaskan semuanya,\" ujarnya. Menurutnya, tuduhan polisi terhadap aktivis dan petinggi KAMI pun nantinya akan sulit dibuktikan. \"Nanti Syahganda cs diperkirakan akan dibebaskan dan kasusnya tidak sampai ke pengadilan,\" imbuhnya. Neta menduga ada tiga tujuan di balik penangkapan aktivis dan petinggi KAMI. Pertama, untuk mengalihkan konsentrasi buruh dalam melakukan aksi demo dan menolak UU Ciptaker. Kedua memberi terapi kejut bagi KAMI dan jaringannya agar tidak melakukan aksi-aksi yang menjengkelkan rezim. \"Ketiga, menguji nyali Gatot Nurmantyo sebagai tokoh KAMI, apakah dia akan berjuang keras membebaskan Syahganda Cs atau tidak. Jika dia terus bermanuver bukan mustahil Gatot juga akan diciduk rezim, sama seperti rezim menciduk sejumlah purnawirawan di awal Jokowi berkuasa di periode kedua kekuasaannya sebagai presiden,\" imbuhnya. Lebih lanjut, dia melihat momentum penangkapan para aktivis itu tepat di saat gejolak penolakan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja sedang digelorakan. Sehingga, aparat jadi memiliki segelintir alasan untuk melakukan penangkapan. \"Jika melihat tuduhan yang dikenakan kepada Syahganda Cs tuduhan itu adalah tuduhan ecek-ecek dan sangat lemah serta sangat sulit dibuktikan,\" tandasnya. Polri telah menetapkan sembilan aktivis dan petinggi KAMI sebagai tersangka. Mereka adalah Juliana, Devi, Wahyu Rasari Putri, Khairi Amri, NZ, Kingkin Anida, Anton Permana, Syahganda Nainggolan, dan Jumhur Hidayat. Mereka ditangkap di Medan Sumatera Utara, Jakarta, Depok, dan Tangerang Selatan dalam rentang waktu 9-13 Oktober 2020. Mereka diduga melakukan penghasutan, menyebarkan berita hoaks dan ujaran kebencian di media sosial untuk mendukung demonstrasi menentang UU Cipta Kerja. Sembilan aktivis itu ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran UU ITE dengan ancaman hukum bervariasi mulai dari 6 tahun hingga 10 tahun.(gw/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: