Diskon Rokok Hambat SDM Indonesia
JAKARTA - Sejumlah kalangan mulai dari akademisi, peneliti hingga LSM mendesak Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani untuk segera menghapus kebijakan diskon rokok. Sebab aturan tersebut menghambat Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Sebagaimana diketahui program pemerintahan Jokowi pada 2019-2024 yakni mendorong SDM yang unggul yang bisa bersaing di mancanegara dan meningkatkan perekononomian negara di masa depan. Hanya saja, menjadi ironi karena adanya kebijakan diskon rokok sehingga membuat produk tersebut mudah dijangkau oleh masyarakat, terutama anak-anak. \"Kami mengapresiasi rencana Presiden Joko Widodo dengan visinya yang ingin meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Untuk mencapai visi tersebut, kami menyarankan Jokowi segera memerintahkan Kemenkeu untuk menghapus kebijakan diskon rokok. Jika tidak, Indonesia tak akan bisa menikmati bonus demografi yang sudah berada di depan mata, kata peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan dalam sebuah diskosi terkait diskon rokok di Jakarta, kemarin (20/8). Ketentuan diskon rokok tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Peraturan tersebut merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Saat PMK Nomor 146/2017 direvisi menjadi PMK 156/2018, ketentuan mengenai diskon rokok tidak diubah. Dalam aturan tersebut, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen boleh 85 persen dari harga jual eceran (HJE) atau banderol yang tercantum dalam pita cukai. Artinya, konsumen mendapatkan keringanan harga sampai 15 persen dari tarif yang tertera dalam banderol. Bahkan, produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari banderol asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai. \"Intinya diskon ini kebijakan yang aneh 85 persen dari Harga banderol mengendalikan dalam konsumsi rokok dan ini mendorong persaingan tidak sehat antar perusahaan rokok. Karenanya ini harus direvisi harga banderol harus sama dengan semua jenis rokok. Supaya kebijakan cukai efektif, dan perokok bisa disinsentif rokok,\" tutur dia. Dia melanjutkan, regulasi tersebut tidak ada manfaatnya bagi negara karena tidak membuat untung negara, sebaliknya menjadi rugi karena akan banyak masyarakat yang sakit akibat rokok. \"Aturan-aturan yang jelimet, nggak ada untungnya juga untuk negeara. Kan ini menimbulkan banyak yang sakit, sementara penerimaan tidak naik. Jadi sangat tidak etis penerimaan negara kita dari industri rokok yang menyakiti masyarakat. Amanat fungsi cukai adalah pengendalian fungsi rokok,\" jelas dia. Pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Muhammad Joni, berpendapat kebijakan diskon rokok juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang melarang potongan harga produk tembakau. Selain itu, kebijakan diskon rokok pun bertolak belakang dengan Visi Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-Ma\\\'ruf Amin yakni Indonesia Maju yang fokus membangun sumber daya manusia andal. Adanya benturan kebijakan menandakan pemerintah belum bersungguh-sungguh dalam mewujudkan SDM Indonesia yang unggul. Pemerintah terkesan hanya memikirkan soal penerimaan negara yang sebesar-besarnya dari industri hasil tembakau tanpa memikirkan kelangsungan masa depan penerus bangsa, tegas Joni. Lantas apakah diskon rokok akan mematikan indusri rokok kecil? Menurut dia hal itu tidak ada hubungannya dengan industri rokok. \"Ini tidak relevan jika dikatakan mematikan industri rokok kecil,\" ucap dia. Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) yang juga Koordinator Solidaritas Advokasi Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia (SAPTA), Tubagus Haryo Karbyanto menjelaskan kesalahan besar regulator yakni melegalkan penjualan harga rokok di bawah harga banderol yang tertera dalam pita cukai. Kemenkeu salah dalam memaknai filosofi cukai. Kenyataannya mindset yang terbangun dan dijalankan adalah mindset revenue dan terjebak pada keuntungan finansial semata, jelas Tubagus. Selain itu Tubagus juga khawatir, jika kebijakan rokok tidak segera dihapus, angka perokok khususnya remaja akan terus bertambah. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2018, prevalensi merokok pada remaja usia 10 sampai 18 tahun mengalami peningkatan sebesar 1,9 persen dari tahun 2013 (7,20 persen) ke tahun 2018 (9,10 persen). \"Kebijakan diskon rokok menjadi ganjalan bagi pemerintah yang bercita-cita menurunkan tingkat konsumsi rokok di Indonesia. Alangkah bijaksananya kebijakan diskon rokok segera dihapus demi tercapainya kepentingan bangsa bersama,\" pungkas dia. Adapun praktik diskon rokok sudah berlangsung sejak 15 tahun silam. Sebagao contoh, Surya Pro Mild isi 16 batang produksi PT Gudang Garam Tbk seharga Rp15.300 per bungkus, lebih renddah dibandingkan harga banderolnya Rp17.925. Praktik sejenis juga terjadi di Jakarta Selatan, Apache Premium Kretek produksi PT Karyadibya Mahardhika, anak sauah Japan Tobacco International (JTI), dijual seharga Rp16.500 atau lebih rendah dari harga banderolanya Rp18.000. Sementara rokok Djarum Super MilD dijual Rp16.000 atau lebih dari dari harga yang tertera di bungkus di pita cukai Rp17.920.(din/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: