Dua Pemimpin Daerah Bersumpah Jaga Lingkungan
Sendratari Mapageh Sang Watu Kulumpang Puncak Kemeriahan FSS Puncak Festival Sindoro-Sumbing (FSS)yang digelar di lapangan Desa Kledung Kecamatan Kledung ditandai dengan pagelaran sendratari dari dua kabupaten. Dalam puncak acara ini kedua penguasa Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo berjanji dan bersepakat untuk menjaga kelestarian lingkungan di Gunung Sindoro dan Sumbing. SETYO WUWUH, Kledung Kabut tebal mulai turun sejak awal prosesi digelarnya puncak FSS di desa yang berada di perbatasan antara Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo ini. Derajat pada termometer juga terus menurun menunjukkan suhu udara di lembah Sindoro dan Sumbing ini semakin dingin menusuk tulang. Namun meskipun cuaca kurang bersahabat, tidak mengurangi semangat masyarakat dari kedua kabupaten ini untuk menjadi saksi sumpah dari kedua pemerintahan di Jawa Tengah untuk menjaga dan melestarikan lingkungan di Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Menjelang sore sekira pukul 15.00 wib, kirab budaya dengan mengusung berbagai hasil bumi dan kesenian dari kedua kabupaten ini dilaksanakan. Dari Kabupaten Temanggung diwakili Kecamatan Kledung, sedangkan dari Kabupaten Wonosobo diwakili Kecamatan Kretek. Kedua arak-arakan ini kemudian bertemu di panggung utama di lapangan Desa Kledung. Dalam pertemuan ini kedua perwakilan dari masing-masing kabupaten mengungkapkan rasa keharuannya dengan digelarnya FSS ini. Mereka berharap dengan adanya festival yang didukung Platform Indonesiana Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini masyarakat semakin maju dan sejahtera. Setelah prosesi selesai kemudian dilanjutkan dengan pementasan kuda lumping, topeng ireng, bangilun serta kesenian lainnya. Tidak hanya itu malam menjelang masyarakat semakin antusias menyaksikan gelaran Sendratari Mapageh Sang Watu Kulumpang yang menjadi puncak kolaborasi Kabupaten Temanggung dan Wonosobo dalam rangkaian FSS tahun 2019 ini. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang sengaja hadir dalam gelaran ini sangat mengapresiasi FSS. Masyarakat sangat terlihat bersahabat dan membaur menjadi satu tanpa ada sekat yang membedakan. Dalam Mapageh ini suasana hangat sangat kental terasa. \"Mata kita, hati kita, pikiran kita perlu dibawa ke panggung ini untuk melihat keindahan. Melihat suatu karya yang dipersembahkan dengan harapan, mata yang menonton ke panggung ini, pulang akan membawa kesenangan dan kebahagiaan. Itulah peradaban,\" kata Ganjar. Ia berharap kolaborasi Temanggung dan Wonosobo terus berlanjut dalam menghadirkan pertunjukan seni budaya yang berkelas lainnya. Sementara itu Bupati Temanggung M Al Khadziq mengatakan, rangkaian FSS ini digelar sejak awal bulan Juli 2019. Kabupaten Temanggung telah menyelenggarakan beragam acara yang dihadiri ribuan orang dan menghadirkan penampilan dari berbagai daerah baik di dalam maupun luar negeri. Di antaranya Sarasehan Jaran Kepang, Pertunjukan Jaranan, Ngopi di Papringan, dan Java International Folklore (JiFolk). Ia berharap melalui FSS ini, masyarakat dapat menyelenggarakan berbagai kegiatan berbasis kekayaan budaya yang lebih baik dan berujung pada kesejahteraan. “Agar nantinya kekayaan kultural, kekayaan seni budaya masyarakat ini bisa menjadi faktor pendorong kesejahteraan,” ujarnya. Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya (WDB) Direktorat Jenderal Kebudyaan, Nadjamudin Ramly menyampaikan bahwa FSS yang menyatukan kedua kabupaten di wilayah Gunung Sindoro dan Sumbing ini dikemas dengan sangat bagus. Dengan menghadirkan kurator dan dipersiapkan dengan baik melalui rangkaian diskusi dan lokakarya. Lebih lanjut, Nadjamudin berharap dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, sektor kebudayaan tidak lagi menjadi ‘pelengkap penderita’, melainkan sebuah investasi. Hal tersebut diperkuat dengan Strategi Kebudayaan dan Resolusi Pemajuan Kebudayaan yang menjadi hasil Kongres Kebudayaan Indonesia Tahun 2018 yang lalu. Segera akan hadir Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan sebagai panduan pembangunan mendatang. Platform Indonesiana, menurut Nadjamudin, menjadi pemicu dan rangsangan bagi kepala daerah yang peduli terhadap kebudayaan. Khususnya dalam rangka meningkatkan tata kelola penyelenggaraan festival seni budaya dengan semangat gotong royong, penguatan lokal, dan partisipasi masyarakat \"Arenanya, Indonesiana ini kami getok tularkan sebagai ikon Kemendikbud,\" ujarnya. Direktur Festival Sindoro Sumbing, Imam Abdul Rofiq, menjelaskan bahwa pemilihan lokasi memang disengaja di wilayah perbatasan kedua kabupaten. “Agenda hari pertama diawali dengan pengambilan air suci di dua tempat yakni di Sendang Kledung dan Surodilogo Pagerejo. Ada juga agenda selametan di Kledung dan juga jagong budaya di Candiyasan hingga puncaknya sendratari,” tutur Imam. Sebagai agenda yang didukung Platform Indonesiana, Sendratari Mapageh menjadi sebuah upaya rekonstruksi dari upacara penetapan tanah Sima yang dilakukan pada 900 Masehi oleh Raja Dyah Balitung. Pertunjukan sendratari kolosal yang menggabungkan musik, tari wayang, teater, dan multimedia ini diharapkan bisa menarik minat masyarakat untuk memahami pesan utama tentang upaya menjaga kelestarian alam. Termasuk di dalamnya sumber air dan bangunan suci tempat ibadah di era Hindu-Buddha. Sebagai puncaknya, kedua Bupati melempar telur ke batu lumpang sebagai lambang bahwa sumpah yang sudah diucapkan untuk bisa ditaati semua pihak. Dan mengandung arti kutukan buruk bagi yang melanggarnya. Kemudian prosesi dilanjutkan dengan pembacaan ikrar antara Temanggung dan Wonosobo untuk bersama-sama merawat alam Sindoro-Sumbing. Dan dilanjutkan dengan makan bersama hidangan yang telah disiapkan yang juga disebut dengan istilah memenuhi daun yang dibawa warga untuk dimakan bersama. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: