Frasa Agama Tak Dihilangkan
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Kementerian Pendidikand dan Kebudayaan (Kemendikbud) memastikan, bahwa frasa agama dalam visi peta jalan pendidikan nasional (PJPN) 2020-2035 tidak akan dihilangkan atau dihapus. Pernyataan ini sekaligus menyudahi polemik di masyarakat yang belakangan ini ramai diributkan. Dalam draf Peta Jalan Pendidikan per Mei 2020 menyebut, Visi Pendidikan Indonesia 2035 adalah \\\'Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila\\\'. Untuk itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menegaskan, bahwa frasa agama tidak akan dihapus atau menghilangkan dari peta jalan pendidikan 2020-2035. \"Kalau ada aspirasi dari masyarakat kata \\\'agama\\\' itu penting dalam frasa itu, silakan masuk dalam peta jalan pendidikan. Nggak masalah, kita terbuka. Nggak perlu panik dan nggak perlu menciptakan polemik,\" kata Nadiem dalam raker dengan Komisi X DPR, Kamis (11/3/2021) Nadiem mengaku bingung dengan polemik kata \\\'agama\\\' yang tidak ada dalam Visi Pendidikan 2020-2035 dalam Peta Jalan Pendidikan yang tengah digodok kementeriannya. \"Pertamanya saya cukup bingung dengan polemik ini. Karena kenapa kita mengeluarkan ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah esensi tertinggi daripada keagamaan. Jadi saya kira itu terpenting,\" ujarnya Terlebih lagi, Nadiem merasa heran dengan polemik tentang isu rencana menghilangkan pelajaran agama. Mantan bos Go-Jek itu menegaskan, bahwa Kemendikbud tidak pernah berencana menghapus pelajaran agama. \"Enggak pernah ada rencana itu, dan enggak pernah kita akan menghilangkan pelajaran agama dari kurikulum kita, jadi jangan khawatir,\" tegasnya. Nadiem mengungkapkan, bahwa saat ini status peta jalan pendidikan masih berupa rancangan yang terus disempurnakan dengan mendengar dan menampung masukan dan kritik dari berbagai pihak. \"Kami menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya atas masukan dan atensi dari berbagai kalangan tentang penambahan kata agama secara eksplisit, kata ini akan termuat pada revisi rancangan Peta Jalan Pendidikan selanjutnya,\" tuturnya. Sementara itu, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menilai, peta jalan pendidikan (PJP) yang disusun Kemendikbud belum memiliki landasan hukum yang kuat untuk dilaksanakan oleh lintas kementerian dan pemerintah daerah. Menurutnya, dokumen setebal 73 halaman itu juga dianggap belum bisa jadi panduan dalam perencanaan pembangunan pendidikan. Mengingat, dokumen tersebut belum merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku \"Peta jalan pendidikan harus merujuk pada sejumlah peraturan perundangan bidang pendidikan dan kebudayaan. Misalnya, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, atau UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,\" kata Huda. \"Kemendikbud juga diminta membuat landasan hukum yang kuat agar peta jalan pendidikan bisa dijalankan lintas kementerian maupun pemerintah daerah (Pemda),\" sambungnya. Selain itu, kata Hudda, panja juga mendesak Kemendikbud segera menyelesaikan konsep peta jalan pendidikan yang memiliki naskah akademik dan naskah utuh. \"Serta sebagai panduan dala perencanaan pembangunan pendidikan. Naskah utuh peta jalan pendidikan harus merujuk perundang-undangan di bidang pendidikan dan kebudayaan,\" ujarnya. Kemudian, lanjut Huda, panja juga mendorong penataan kembali peraturan perundang-undangan bidang pendidikan dak kebudayaan. Penataan dengan menerapan kebijakan asimeteri dalam menjawab tantangan pembangunan pendidikan di masa mendatang. \"Panja yang dibentuk rampung mengkaji dokumen peta jalan pendidikan yang telah diserahkan Kemendikbud. Hasil pengkajian selama tiga masa sidang, laporan panja PJP pun telah diserahkan kepada Mendikbud (Nadiem Makarim). Ada tujuh klaster yang menjadi kajian panja dan meminta masukan banyak pakar,\" tuturnya. Panja juga meminta, masa pemberlakukan atau jangka waktu peta jalan pendidikan ditinjau kembali. Peta jalan pendidikan diminta tidak hanya untuk 2035, melainkan sampai 2045 sesuai waktu 100 tahun Indonesia Merdeka. \"Yang sering disebut sebagai \\\'Indonesia Emas\\\', agar selaras dengan semangat dan hasil kajian akademik, baik oleh kementerian/lembaga lain, maupun perguruan tinggi mengenai substansi pentingnya hal-hal yang perlu disiapkan \\\'Menuju Indonesia Emas\\\',\" tuturnya. Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji justru memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, istilah peta jalan pendidikan Indonesia 2020-2035 yang tengah diranang Kemendikbud kurang tepat \"Saya tidak cocok dengan istilah peta jelan. Kalau peta jalan itu sudah ada tujuannya. Kalau cetak biru, tergantung kemampuan kita,\" kata Indra. Menurut Indra, saat ini Indonesia butuh rancangan tetap dalam pembangunan pendidikan, bukan mengejar titik tertentu seolah melihat peta. \"Bagaimana kita membangun kalau tidak punya cetak biru. Kalau kita mau bangun rumah mampunya satu lantai ya itu punya kita. Itulah kenapa saya setuju pakai istilah cetak biru,\" ujarnya. Secara garis besarnya, kata Indra, selagi cetak biru belum ada, maka pelaksanaan program pendidikan tidak pernah kelihatan hasilnya. Menurutnya, membangun pendidikan adalah bagian proses yang didasari rancangan. \"Harusnya cetak birunya itu dari sebuah proses, kalau kita punya program pendidikan ya jangan pakai episode. Episode-episode itu bukan proses,\" pungkasnya. (der/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: