Hukuman Mati Tak Cukup Kuat Berantas Korupsi

Hukuman Mati Tak Cukup Kuat Berantas Korupsi

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Wacana pengenaan hukuman mati bagi koruptor belum cukup kuat untuk memberantas korupsi. Meski demikian, sejumlah kalangan masih menolak, karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang setuju dengan penerapaan hukum mati bagi koruptor. Meski demikian dia menilai, hukuman mati saja tidak akan cukup untuk memberantas korupsi. \"Besar kecil hukuman itu bukan sebuah fokus kita. Oke, untuk efek jera bisa diperdebatkan. Makin maksimal, makin lebih baik. Itu sudah pasti. Tapi itu saja tidak cukup,\" ujar Saut di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (12/12). Saut menuturkan, hukuman mati sejatinya telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Isinya, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Baca juga KPU Kota Magelang Imbau Parpol Tak Calonkan Bekas Napi Aturan tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan UU 31/1999. Disebutkan, yang dimaksud dengan \"keadaan tertentu\" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. \"Jadi sekali lagi, kita supaya jangan terlalu terlibat pada retorika itu karena memang di pasal 2 (UU Tipikor) sudah ada,\" ucap Saut. Dikatakan Saut, pengenaan hukuman bagi tersangka korupsi cukup kompleks. Ia menyebut, penyidik tidak dapat serta merta mengenakan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor kepada tersangka. \"Yang paling cukup apakah ada sustaining, apakah ada sistematik, apakah ada menyelesaikan persoalan-persoalan filosofis, sisiologis, dan yurudis formalnya. Jadi tidak hanya soal yuridisnya saja,\" kata Saut. \"Sebaiknya kita hentikan kalau hanya sekitar retorika-retorika seperti itu. Kita harus mulai secara sustain, tegas, detail, tidak sepotong-sepotong. Mari kita duduk sama-sama,\" tambahnya. Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan lembaga antirasuah tak ragu untuk menghukum mati koruptor. Sepanjang, kata dia, syarat-syarat yang diatur dalam UU telah terpenuhi. \"Syaratnya sudah memenuhi atau belum? Kalau satu syarat memenuhi ya diterapkan saja,\" ucap Agus. Lebih lanjut, Agus meminta penegak hukum lainnya konsisten menerapkan hukuman agar menimbulkan efek jera terhadap koruptor. Khususnya, Mahkamah Agung (MA) yang belakangan ini kerap mengurangi hukuman koruptor di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali. “Mestinya, kalau kita semua sepakat begitu, ya, dalam tanda kutip pengurangan, itu tak perlu ada,\" tegas dia. Baca Juga Kondisi BKK Pringsurat Kian Tak Menentu, Pemkab Temanggung pun Kesulitan Mengambil Uang Berbeda, Ketua DPR Puan Maharani menilai, wacana penerapan hukuman mati terhadap koruptor melanggar hak asasi manusia. \"Itu kan pertama melanggar HAM,\" ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Puan meminta wacana tersebut apakah perlu dilaksanakan atau tidak. Dia sebut sudah ada undang-undang yang mengatur. \"Kedua kita juga harus telaah apakah itu perlu dilakukan atau tidak, itu kan sudah ada undang-undangnya,\" kata dia. Dia menyarankan lebih baik mengikuti undang-undang. Ketimbang, menerapkan hukuman mati tetapi langgar undang-undang. \"Ya kita ikuti saja lah undang-undang tersebut, jangan sampai kita kemudian bergerak terlalu cepat tapi kemudian melanggar undang-undang,\" kata politikus PDIP itu. Perihal hukuman mati ini mendadak mencuat di Hari Antikorupsi Sedunia, usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan tak menutup kemungkinan mengakomodasi hukuman mati bagi koruptor dalam revisi UU Tipikor. Hanya saja, asalkan usulan tersebut berasal dari rakyat. (riz/gw/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: