Jadi Negara Maju, Neraca Dagang RI Buntung

Jadi Negara Maju, Neraca Dagang RI Buntung

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mencoret beberapa negara dari daftar negara berkembang menjadi negara maju, termasuk Indonesia, justru cenderung neraca dagang Indonesia menjadi buntung di 2020. Sebab selama ini, Negara Paman Sam itu menjadi negara kedua terbesar pangsa ekspor non-migas Indonesia yang sebesar USD1,62 miliar pada Januari 2020. Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) surplus perdagangan Indonesia dengan AS pada Januari 2020 senilai USD1,01 miliar, angka ini tumbuh dibandingkan dengan surplus periode sama tahun lalu, yakni senilai USD804 juta. Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira mengatakan, kebijakan perdagangan itu bakal berdampak terhadap daya saing pada ribuah jenis produk. Dampak impilikasi besar adalah dikeluarkannya Indonesia sebagai negara penerima fasilitas Generalized System of Preference (GSP). \"Selama ini pelaku usaha kita banyak menikmati fasilitas bea masuk yang rendah untuk ekspor tujuan AS,\" ujar dia kepada Fajar Indonesia Network, kemarin (23/2). Bhima menjelaskan, GSP adalah diberikan kepada negara berkembang dan miskin. Nah, bila Indonesia tidak masuk dalam dafta penerima GSP, maka Indonesia akan kehilangan daya sang pada ribuan jenis produk. Tentu saja, ini akan merugikan Indonesia. Imbasnya, lanjut Bhima, antara lain ekspor tekstil dan pakaian jadi akan menurun drastis. Bhima mencatat, dari Januari hingga November 2019, terdapat USD2,5 miliar nilai ekspor Indonesia dari pos tarif GSP. \"GSP ini diberikan pada negara berkembang dan miskin jika Indonesia tidak masuk GSP. Maka ekspor pasar AS terancam menurun pada tekstil dan pakaian jadi,\" tutur Bhima Menanggapi kebijakan AS itu, Mantan Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Bayu Krisnamurthi menyebutkan, bahwa negara belum atau sedang berkembang boleh menerapkan lebih banak kebijakan yang lebih menguntungkan perdagangan misalkan melalui tarif atau subsidi. Hal itu tertulis dalam kesepakatan organisasi perdagangan dunia atau WTO. Alasannya karena dengan kebijakan yang lebih menguntungkan perdagangan itu bisa menanggulangi kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Bahkan, kata dia, beberapa negara maju bisa memberi tambahan bantuan bagi negara sedang berkembang dan negara belum atau sedang berkembang dengan misalkan berupa bentuk tarif yang lebih rendah. \"Beberapa negara maju memberikan tambahan bantuan bagi negara berkembang dan negara sedang berkembang dalam bentuk tarif yang lebih rendah. Kebijakan ini bersifat unilateral atau sepihak,\" kata Bayu. Pada Oktober 2019, kata dia, ada beberap produk yang mendapatkan fasilitas perdagangan dari AS, antara lain plywood dan rotan. Sedangkan untuk produk karet masih dirundingkan untuk mendapatkan fasilitas tarif. Meski tidak mendapatkan fasilitas tarif, menurut dia, pemerintah perlu meningkatkan daya saing produk dengan meningkatkan produktivitas, kualitas, dan efisiensi. Upaya itu bila berhasil akan dirasakan dalam waktu jangka pendek saja. \"Kita perlu meningkatkan daya saing produk terutama dengan meningkatkan produktivitas, kualitas, dan efisiensi. Jika berhasil, maka dampak yang dirasakan hanya bersifat jangka pendek saja,\" ujar dia. Pandangan yang sama juga disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang Indonesia (KADIN), Shinta W Kamdani. Dampak Indonesia tidak lagi menjadi negara berkembang akan membuat pasar ekspor Indonesia ke AS akan meredup. \"Semua produk ekspor Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi perdagangan berdasarkan ketentuan subsidy and countervailing measures AS,\" kata dia. Meski demikian, diharapkan keluarnya Indonesia dari daftar negara berkembang AS tidak sampai mengganggu kinerja perdagangan internasional Indonesia, khususnya dengan AS. \"Kalau keberlakuan status nondeveloping country-nya bisa terbatas pada CVD Act dan enggak spill over ke GSP maka enggak masalah. Cuma saja akan aneh dan karena AS jadi enggak konsisten dan double standard dengan kebijakannya sendiri kalau status Indonesia sebagai negara maju cuma berlaku di satu UU tapi enggak di UU yang lain yang sama-sama mengatur perdagangan,\" jelas dia. Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia, Piter Abdullah memastikan pencabutan daftar Indonesia dari daftar negara berkembang menjadi negara maju bakal negatif untuk sektor ekspor Indonesia ke AS. \"Tanpa fasilitas GSP yang artinya tidak ada kemudahan tarif barang-barang, kita bisa jadi sulit bersaing untuk masuk ke AS sehingga bisa menekan nilai ekspor Kita. Ujungnya akan menurunkan surplus atau semakin membuat neraca dagang kita defisit,\" kata Piter. Kendati demikian, di satu sisi menurut Piter, kebijakan tersebut mengajarkan pemerintah Indonesia untuk tidak bergantung dengan fasilitas yang diberikan AS. \"Tapi kiita memang tidak bisa selamanya bergantung kepada fasilitas. Kita harus siap dengan meningkatkan kualitas dan efisiensi. Dengan demikian kita mampu bersaing tanpa fasilitas,\" ujarnya. Sebelumnya, pemerintah Pemerintah AS mengubah kebijakan perdagangannya dengan mengeluarkan beberapa negara dari daftar negara berkembang, termasuk Cina, India, dan Afrika Selatan. Kebijakan tersebut telah berlaku sejak 10 Februari 2020. Artinya Indonesia dikeluarkan dari daftar developing and least-developed countries sehingga special differential treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak lagi berlaku bagi Indonesia. Akibatnya, de minimis thresholds untuk marjin subsidi agar suatu penyelidikan anti-subsidi dapat dihentikan berkurang menjadi kurang dari 1 persen dan bukan kurang dari 2 persen. Selain itu, kriteria negligible import volumes yang tersedia bagi negara berkembang tidak lagi berlaku bagi Indonesia. Akibatnya kebijakan ini membuat perdagangan Indonesia menjadi melemah.(din/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: