Kenakan Pakaian Adat, Warga Pringsurat Ikuti Sadranan di Makam Mbah Suropodo

Kenakan Pakaian Adat, Warga Pringsurat Ikuti Sadranan di Makam Mbah Suropodo

TEMANGGUNG, MAGELANGEKSPRES.COM - Sesaat jelang memasuki bulan suci Ramadan dan menjalankan seluruh rangkaian ibadah di dalamnya, ratusan warga menggelar tradisi Sadranan di Pasareyan Suroloyo (Sepujud) di Dusun Kupen, Desa Soropodan, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Jumat (1/4) pagi.
Lokasi ini dipilih mengingat Pasarean Suroloyo merupakan Makam Mbah Suropodo yang tak lain merupakan pepunden Soropadan yang “bubak alas” atau membuka lahan di Desa Suropadan sehingga nilai historis tinggi tersebut begitu sakral dan sangat dihormati oleh masyarakat setempat.
Mereka yang mengikuti prosesi sadranan yang digelar rutin setiap Jum’at Pahing di Bulan Sya’ban ini merupakan trah keturunan dari leluhur yang dimakamkan di pasarean ini, yang mana mereka berbondong-bondong datang tak hanya dari dalam dan luar daerah saja, namun ada juga yang dari luar negeri.
Menariknya, mayoritas mengenakan pakaian adat Jawa lengkap, mulai beskap dan blangkon bagi para laki-laki dan kebaya bagi perempuan sebagai upaya melestarikan tradisi, adat dan budaya asli masyarakat.
Tak hanya itu saja, makanan yang mereka bawa untuk didoakan, seluruhnya dimasukkan ke dalam keranjanh bambu tanpa satupun yang menggunakan kantong platik. Hal ini dilakukan panitia dengan tujuan utama mengurangi sampah plastik sekaligus memanfaatkan produk barang dari kearifan lokal.
Ketua Panitia Sadranan, Agus Sarwono menjelaskan, areal pasareyan ini merupakan makam dari Pangeran Pujud dan beberapa pengikut Pangeran Diponegoro keturunan Eyang Amangkutan dari Pajang, Keraton Yogyakarta dan telah dibangun sekitar tahun 1800 silam. Sehingga beberapa makamnya terbuat dari kayu jati kuno khas kerajaan era masa lalu.
“Para pepunden di pemakaman inilah yang menurunkan trah masyarakat di Desa Soropadan sampai saat ini. Kebetulan juga keturunan dari sini sekarang menjadi orang-orang penting dan pejabat,” jelasnya.
Tak hanya sebagai bentuk merawat pesarean pepunden, acara sadranan ini juga sebagai sarana mengingat besarnya jasa para leluhur yang telah mewariskan banyak hal. Mulai ilmu, budaya, adat, tradisi, akhlak, hingga harta benda yang cukup banyak bagi seluruh keturunannya.
“Ini menjadi yang pertama sejak vakum selama dua tahun terakhir akibat dampak pandemi covid-19. Sehingga animo yang datang sangat luar biasa, termasuk ada dari luar negeri juga datang untuk menengok leluhur mereka,” imbuhnya.
Lanjutnya, terdapat juga tradisi lain sadranan di tempat ini. Jika sadranan pada umumnya makana dimasukkan dalam tenong-tenong, tetapi di sini dimasukkan keranjang bambu dan tidak boleh dimakan secara bersama di areal tersebut.
“Memang kita tidak menggelar makan bersama di areal pemakaman. Beda dari tempat lain yang dimakan bersama di area makam. Alasannya memang di tempat ini jauh dari sumber air. Jadi makanan yang dibawa langsung dibagi-bagikan,” bebernya.
Hastari (30) salah satu keturunan trah yang datang dari Yogyakarta mengaku selalu mengikuti ritual Sadranan setiap kali digelar. Tak hanya unik, namun tradisi ini merupakan ajang mengingat jasa  leluhur sekaligus menjalin kerukunan antar warga.
“Ini sarana kami dalam nguri-uri budaya sekaligus mempererat kerukunan antar warga. Karena banyak trah keturunan yang tersebar di luar kota dan luar negeri,” pungkasnya. (riz)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: