Keringanan Pajak Dinilai Tak Tepat Sasaran
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Pemberian insentif atau keringanan pajak pada Pajak Pengahasilan (PPh) 21,22, hingga 25 untuk sektor manufaktur menuai komentar pro dan kontra dari berbagai kalangan. Ada yang bilang mampu menjaga daya beli masyarakat dan juga ada yang menyebut salah sasaran. Keringan pajak tesebut mulai diberlakukan pada awal April 2020 mendatang selama enam bulan ke depan. Kebijakan tersebut diterbitkan sebagai upaya pemerintah dalam menjaga perekonomian di tengah mewabahnya virus corona di seluruh dunia. Menanggapi insentif pajak tersebut, ekonom senior Faisal Basri menilai kebijakan pemerintah kembali salah sasaran. Itu karena keringan pajak yang dipukul rata tak adil, karena yang tak tedampak merasakan keringan tersebut. \"Coba sekarang Anda semua kan digaji dan dipotong pajak. Anda terdampak virus corona enggak? Kan enggak. Ya saya sih oke-oke aja gitu enggak bayar pajak. Dapat gaji penuh. Enak lah. Tapi apakah kita terdampak? Kan tidak,\" kata Faisal, di Jakarta, kemarin (12/3). Seharusnya, lanjut dia, pemberian insentif atau pemotongan pajak untuk pelaku usaha yang terkena dampak virus corona. Misalkan, pengusaha pariwisata. Dalam hal ini pemerintah bisa melakukan pendataan yang terdampak. Setelah itu baru diberikan insentif. \"Siapa yang paling kena dampak? Silakan diteliti pemerintah fokus aja ke sana. PPh kan berlaku ke semua, Anda enggak perlu saya nggak perlu. Di luar sana banyak yang usahanya terdampak. Tourism misalnya,\" ujar Faisal. Jika insentif agar menjaga daya beli masyarakat, saran Faisal Basri, pemerintah bisa membagikan langsung insentif ke masyarakat yang memang membutuhkan. Dengan demikian, daya beli akan meningkat \"Ini kan yang butuh insentif yang terdampak. Kalau mau naikkan daya beli kasih aja seluruh rakyat sejuta (rupiah) per orang. Ayo belanja belanja! Sekalian aja begitu,\" tutur Faisal. Perencana keuangan dari OneShildt Risza Bambang menyarankan kepada karyawan yang pajaknya ditanggung pemerintah sebaiknya menggunakana gaji penuhnya dari April hingga Oktober secara bijak. Misalkan, untuk melunasi utang. \"Kalau saya boleh saran, dia akan dapat windfall, kalau masih punya cicilan utang, momennya di lunasi, bisa juga sebagian dari total,\" kata Risza. Menurut dia, stimulus PPh Pasal 21 ini lebih menguntungkan bagi karyawan yang memiliki gaji ratusan juta setahun. Hitungan dia, misalkan gaji seorang karyawan Rp300 juta dalam setahun setelah dikurangi pendapatan tidak kena pajak (PTKP) maka pajak per bulannya sekitar Rp333.333. Dengan begitu selama enam bulan ke depan ada dana Rp19.999.998 yang bisa dimanfaatkan. Kembali dia menyarankan, dana tersebut bisa disimpan sebagai dana darurat, atau juga diinvestasikan kepada instrumen yang memiliki risiko rendah. Yakni, mulai dari logam mulia, reksadana, dan obligasi jangka pendek yaag diterbitkan pemerintah. \"Kalau reksadana khususnya yang underlying food industry dan kesehatan. Jangan juga dibelikan perhiasan tapi ke logam mulia, itu kan beda,\" ungkap dia. Sementara itu, kebijakan insentif pajak ini mendapat respon positif oleh para pekerja. Salah satunya dari mereka, Rita Salsabila menganggap keringan pajak, gajinya nanti kan digunakan untuk keperluan seperti membeli susu untuk anak. \"Ya pajak penghasilan beberapa bulan yang enggak kepotong akan dialokasikan untuk kebutuhan anak, atau kebutuhan yang lain,\" kata Rita ditemui di pusat Ibu Kota Jakarta, kemarin (12/3). Sementara pekerja yang lain, Indah Diniarti, berharap kebijakan tersebut tepat sasaran sehingga bisa menjaga angka pertumbuhan ekonomi domestik tak turun dari posisi 5 persen. \"Kalau bisa keringan pajak tak hanya setengah tahun saja, tetapi juga berlangsung lama,\" ucap wanita berusia 37 tahun itu. Sebagaiman diketahui, stimulus jilid II ini pemerintah memutuskan untuk menanggung pajak penghasilan (PPh) pasal 21, menangguhkan PPh pasal 25 dan Pasal 22, serta mempercepat restitusi. Tujuan pemerintah menanggung pajak PPh Pasal 21 untuk mempertahankan daya beli masyarakat di tengah serangan virus corona yang membuat beberapa produksi industri menurun. Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi sebagai subyek pajak dalam negeri. Tarif PPh Pasal 21 untuk seorang yang memiliki gaji tahunan sampai Rp50 juta berdasarkan Pasal 17 UU PPh dikenakan sebesar 5 persen. Untuk penghasilan Rp50 juta-Rp 250 juta, PPh dikenakan sebesar 15 persen. Lalu penghasilan Rp250 juta-Rp 500 juta, tarif pajaknya 25 persen. Sementara penghasilan di atas Rp500 juta dikenakan tarif pajak 30 persen.(din/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: