Kisah Tanaka Mitsyuki, Tentara Jepang yang Bergabung dengan BKR
BOM atom yang dijatuhkan ke Hiroshima dan Nagasaki Jepang, 74 tahun silam benar membuat perubahan di Indonesia. Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat, dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merdeka terbuka lebar. Akhirnya, 17 Agutus 1945 menjadi hari paling sakral di Republik ini, setelah kemerdekaan di-Proklamirkan. Namun, apa yang terjadi dengan nasib tentara dan serdadu Jepang yang menetap di Indonesia pascakemerdekaan. Apakah seluruhnya kembali ke negara asal mereka? Rupanya tidak. Berikut sepenggal kisah mantan tentara Jepang yang memilih bergabung dengan kesatuan tentara di Republik ini. TANAKA Mitsuyuki, dulunya merupakan tentara Jepang. Saat Jepang menyerah kepada Sekutu, dia memilih tidak kembali ke negara asalnya. Ia justru bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk ikut berjuang melawan agresi militer Belanda di Magelang dan sekitarnya. Dia adalah sosok pahlawan nasional yang lahir 10 Oktober 1921 di sebuah desa kecil bernama Kiyomimachi di Kota Takayama Provinsi Gifu, Jepang. Saat berusia, 18 tahun Tanaka pun harus ikut wajib militer. Tanaka mengawali tugasnya di wilayah Mancuria di Tiongkok pada tahun 1939. Kemudian, tahun berikutnya menuju Taiwan, Filipina, Singapura, dan Thailand. Berikutnya, pada tahun 1940, Tanaka ditugaskan di Hindia Belanda (Indonesia), mulai Tarakan, Kalimantan, dan Surabaya. Pada tahun 1942-1945, menjadi masa yang sulit karena dia harus berperang melawan Sekutu. Saat terjadi bom Nagasaki dan Hiroshima pada tahun 1945, membuat Jepang bertekuk lutut pada Sekutu. Dan saat itu juga, tidak sedikit tentara Jepang yang menyerahkan diri kepada Sekutu. Bahkan, dari mereka rela bunuh diri, karena menjadi budaya negara itu pada zamannya. Berbeda dengan pasukan Harakiri (bunuh diri) Tanaka justru memilih tetap berada di Magelang dan bergabung dengan BKR. Ketika itu, ia pun telah berganti nama menjadi Sutoro. Selain dia, ada empat rekannya juga yang bergabung dalam BKR tersebut. Sugiyon (60), putra dari Sutoro atau Tanaka yang kini tinggal di Jalan Kalingga, Kota Magelang. Saat ditemui wartawan, Rabu (7/8) Sugiyono dengan lugas mengisahkan sepakterjang ayahnya. ”Bapak saya bernama Tanaka Mitsuyuki. Pada waktu itu, Jepang kekurangan militer, pemerintah setempat membutuhkan anak-anak muda untuk dikirim ke Asia Timur Raya. Bapak saya cerita setelah didaftar dibawa dan dikirim ke Mancuria, Tiongkok dilatih disana,” kata Sugiyono. Setelah dilatih di Mancuria, Tanaka kemudian dikirim ke Taiwan, Filipina, dan daerah perang lain di Asia Tenggara lainnya. Kalau sampai di Indonesia sekitar tahun 1942, saat ini masih tentara Jepang dengan pangkat buco, atau setingkat Sersan. Saat di Indonesia tersebut, dia pernah keliling hingga Irian. Kemudian, sekitar tahun 1945 saat Jepang mau menyerah dan pemerintah Jepang meminta kepada para tentaranya untuk menyerahkan diri. Namun Sutoro tidak mau kembali menuju negara asalnya, justru menetap di Indonesia. ”Bapak punya prinsip mungkin, kenapa diperintahkan untuk mati sekarang, belum mati menyerah. Terus bapak berpikir Indonesia juga belum merdeka, nantinya kalau pulang (Jepang) menyerah, Belanda datang. Dari pada bunuh diri, lebih baik bantu Indonesia berjuang untuk kemerdekaan,” katanya. Lantas kemudian, Sutoro menghubungi salah satu tokoh BKR yakni Suryo Sumpeno dan Sarbini. Selain ia bergabung dengan BKR, ada rekan antara lain Muhammad, Winata, dan Jono. Selama di Magelang, Sugiyon menceritakan, bapaknya ikut berjuang melawan penjajah Belanda di Kampung Tulung. Kemudian, menembaki dua pesawat cocor merah dari atas Water Toren, Alun-alun Kota Magelang. Pesawat yang ditembaki tersebut jatuh di Sapuran, Wonosono dan Kaliangkrik, Magelang. ”Bapak juga pernah perang berjuang ketika perang Ambarawa pecah,” jelasnya. Kemudian sekitar tahun 1948, Sutoro menikah dengan gadis asal Salaman, Suparti. Pernikahan dengan Suparti ini dikaruniai 11 anak, sekarang tinggal 6 orang. Sutoro pun terakhir bertugas dengan pangkat Mayor, kemudian saat pensiun mendapatkan pangkat kehormatan Letkol. Bahkan, Sutoro pernah mendapatkan piagam Bintang Gerilya dari Presiden Sukarno pada tanggal 10 November 1958. Tepatnya, pada 1 Agustus 1998, Sutoro meninggal dunia kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Dharmoloyo Magelang. ”Bapak sebagai orang Jepang, jiwa raganya diserahkan untuk Tanah Air Indonesia. Sebagai orang Jepang, tapi beliau sudah mendarah daging menjadi orang Indonesia, cinta Tanah Air Indonesia,” tuturnya.“Anak-anak dipesan jangan jadi tentara kalau tidak ada peperangan Indonesia dengan negara lain. Seandainya ada peperangan, nggak usah dipanggil, langsung mendaftarkan diri,” kenangnya. Sugiyon pun menceritakan, ayahnya punya kedekatan dengan Jenderal A Yani saat bertugas di Magelang. Bahkan Sutoro mendapatkan kenang-kenangan dari A Yani berupa mobil Jeep Willys. ”Bapak waktu itu dekat dengan Bapak Jenderal Ahmad Yani. Pada waktu Pak Ahmad Yani dinas di Magelang, bapak diberi hadiah karena mau ditinggal ke Jakarta. Diberi hadiah itu sebuah mobil Willys buatan 1943,” katanya. (*) foto : wiwid arif/magelang ekspres PAHLAWAN. Sugiyon, putra dari Sutoro, tentara Jepang yang memilih bergabung dengan BKR untuk melawan agresi militer Belanda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: