Kisah Orang Indo di Kota Magelang Divisualisasikan Lewat Pameran Foto

Kisah Orang Indo di Kota Magelang Divisualisasikan Lewat Pameran Foto

KOTA MAGELANG, MAGELANGEKSPRES.COM - Kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara tak hanya memopulerkan istilah “nyai” dan “gundik”, anak hasil campuran antara pribumi dengan Eropa juga memiliki istilah tersendiri yakni orang Indo (Eropa-Hindia). Awalnya, orang-orang Indo atau Eurasian itu muncul karena terbatasnya jumlah perempuan Belanda di Nusantara sehingga banyak orang Belanda mengawini perempuan-perempuan pribumi yang kerap disebut “nyai.” Dari orang-orang Belanda dan nyai, maka lahirlah anak-anak Indo yang biasanya dipanggil “sinyo” dan “noni”. Kisah yang populis pada awal abad ke-19 itu divisualisasikan lewat pameran foto eksistensi Orang Indo di Kota Magelang, di Loka Budaya Drs Soekomin Adiwatmoko, Jalan Alun-alun Selatan, 1-6 Februari 2022. Alesya Dewi begitu saksama melihat foto-foto sekaligus mendengarkan penjelasan tentang orang-orang Indo muda. Sesekali pandangannya tertuju pada catatan yang ditulis di buku catatan kecilnya. Siswa Sekolah Dasar itu mencatat berbagai hal yang menurutnya menarik di hampir setiap tempat di acara pameran foto arsip dengan tema \"Indo Magelang: Antara Memori dan Identitas\", Rabu (2/2). Orang Indo adalah sebutan bagi keturunan campuran Belanda dan Hindia Belanda (Indonesia). Pengaruh pembedaan strata sosial yang sangat kental berlaku pada masa kolonial menjadikan segala sesuatu yang berhubungan dengan pribumi dan Eropa memiliki tingkatan tersendiri. Posisi mereka tidak setara dengan pribumi yang selalu dianggap rendah, tidak juga lebih tinggi dari bangsa Eropa. Mereka hadir dengan darah percampuran yang menghasilkan strata berada ditengah-tengah. Hal tersebut akhirnya menimbulkan segregasi. Kaum trekkers serta blijvers yang tidak memiliki darah campuran atau \"Belanda totok\" menganggap bahwa meteka lebih \"tinggi\" dari pada mereka yang memiliki darah campuran. Sedangkan kaum campuran atau Indo ini biasanya dipekerjakan di kantor-kantor dagang untuk membantu tugas-tugas pencatatan atau lapangan. Pendidikan mereka juga kurang diperhatikan. Oleh karenanya, mereka banyak menyerap budaya lokal dan kurang memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang memadai. Inilah sebabnya mereka membuat lembaga khusus kaum Indo yang ujungnya sering berlaku diskriminatif terhadap pribumi. Orang-orang Indo, walaupun tidak semua, ingin disamakan statusnya dengan orang-orang Belanda totok yang sedang berkuasa di Nusantara. Pameran foto arsip yang digelar empat komunitas di Kota Magelang, antara lain Penerbit Terang, Komunitas Kota Toea Magelang (KTM), Dewan Kesenian Kota Magelang (DKKM), dan Komunitas Kinara Vidya ini mengangkat persoalan sosial melalui pameran foto. Rupanya, pameran ini mendapat sambutan meriah dari masyarakat. Sejak dibuka oleh Walikota Magelang dr Muchamad Nur Aziz, Selasa (1/2), setelahnya tak pernah sepi pengunjung. Warga yang hendak melihat eksistensi kaum Indo di masa kolonial itu bahkan rela mengantre sejak pukul 08.00 WIB. Sayangnya, pameran yang memanfaatkan gedung bekas PSC 119 baru dibuka pukul 10.00 sampai 20.00 WIB setiap harinya. Namun, kerelaan warga mengantre tampaknya bisa terbayar begitu memasuki ruang demi ruang di pameran foto arsip tersebut. Mulai dari koleksi buku zaman dulu, hingga foto-foto yang masih utuh tentang eksistensi orang-orang Indo. Tak sedikit para pengunjung yang awalnya tak mengerti apa itu orang Indo, akhirnya paham. Di Kota Magelang bahkan cukup banyak ditemukan foto-foto orang Indo. Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang, Muhammad Nafi mengatakan bahwa nasib orang Eropa-Hindia memang cenderung dikesampingkan. Bahkan, dalam catatan sejarah juga disingkirkan. “Kami sendiri sangat kesulitan melacak siapa saja dan berapa jumlah orang Indo di Kota Magelang. Mereka juga hilang dalam pengarsipan kolonial,” katanya. Sebetulnya, kata Nafi, posisi mereka cukup rumit dalam beberapa hal. Di satu sisi mereka memiliki darah Eropa yang di dalam struktur masyarakat kolonial menempati kedudukan kelas pertama, namun karena bukan Belanda totok sehingga posisi mereka kian tersisih. “Di sisi lain, mereka sendiri juga tidak mau dianggap sebagai bagian dari kaum bumiputra yang terlanjur diposisikan sebagai warga kelas paling bawah,” ujarnya. Pameran yang masih akan dibuka hingga 6 Februari 2022 itupun menarik perhatian Anggota Komisi B DPRD Kota Magelang, Marjinugroho. Ia mengaku begitu tertarik untuk melihat eksistensi orang Indo pada masa kolonial Belanda. “Jujur saya apresiasi para anggota komunitas menggelar acara yang sarat sejarah dan edukatif ini. Mestinya gelora literasi ini bisa turut dipopulerkan pemerintah, karena punya Perpustakaan Daerah. Tapi tidak apa-apa, yang penting Pemkot Magelang mendukung penuh acara ini,” tandasnya. Ia mengaku tertarik dengan nasib para orang-orang Indo saat ini. Ia berharap agar ke depan ada bukti-bukti sejarah lain tentang eksistensi orang Indo tak hanya berwujud foto, tapi juga hasil karya atau kebijakan orang-orang campuran ini. “Dengan mempelajari sejarah maka masyarakat akan muncul perasaan yang sangat menghargai dan menghormati perjuangan orangtua, kakek nenek kita di masa-masa sulit saat era kolonial. Inilah yang harus kita ajarkan kepada anak-anak kita agar memahami dan menghargai,” pungkasnya. (wiwid arif)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: