KPK Temukan Celah Korupsi Sistem e-Katalog
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk membenahi tata kelola sistem e-Katalog. Khususnya pengadaan alat kesehatan. Sebab KPK menemukan ada celah korupsi terkait mekanisme pembayaran dalam sistem tersebut. Ketua KPK Agus Raharjo mengisyaratkan, pembayaran dalam e-Katalog sebaiknya mengadopsi sistem yang diberlakukan perusahaan penyedia jasa perdagangan elektronik (e-commerce). \"Kita mengadopsi sistem pembayaran yang ada di e-Commerce, jadi dapat menghindari alur fitur negosiasi yang ada di e-Katalog yang saya rasa malah akan menimbulkan celah korupsi,\" ujar Agus di Jakarta, Minggu (25/8). Agus menilai, dengan mengadopsi cara pembayaran e-Commerce maka akan mengurangi proses tatap muka antara pelanggan dan penjual. Selain itu akan menghilangkan sistem pembayaran uang muka (DP) yang masih tersedia dalam e-Katalog. Sehingga diharapkan proses jual beli akan jauh lebih transparan dan memudahkan pihak penyedia maupun konsumen untuk melakukan transaksi. Hal ini pun berdasarkan kajian yang dilakukan KPK beberapa waktu belakangan. Yang isinya sistem konvensional seperti itu rentan terjadinya tindak pidana korupsi. Deputi bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyatakan, Direktorat Litbang KPK telah melakukan kajian mengenai Permenkes penanganan fraud pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan perbaikan tata kelola rumah sakit, terutama perbaikan manajemen RSCM. Kajian tersebut berbuah sejumah rekomendasi untuk Kemenkes. Ia berharap, kajian tersebut dapat memunculkan gagasan bagi Kemenkes untuk menerapkan sistem yang kompatibel mengenai pengelolaan rumah sakit. \"Sehingga rumah sakit dapat memakainya secara gratis untuk memudahkan perolehan data dari seluruh rumah sakit di Indonesia,\" tuturnya. Direktorat Litbang Pencegahan KPK, Syahdu Winda menyebut, salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah fraud yakni menentukan standar pelayanan kedokteran yang diberikan kepada peserta JKN. Standar itu perlu dituangkan dalam bentuk Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK). Pedoman itu intinya mengatur standar pelayanan yang diberikan dokter dalam menangani penyakit yang dialami pasien. Standar itu menjadi acuan untuk menilai apakah pelayanan yang diberikan kepada peserta sudah sesuai standar atau tidak. Jika pelayanannya tidak sesuai standar ini maka bisa diduga ada indikasi fraud. Jika tidak ada standar ini bagaimana kita bisa menentukan telah terjadi fraud atau tidak,\" kata Winda. Untuk mengoptimalkan penyelenggaraan JKN sekaligus mencegah fraud, KPK merekomendasikan sedikitnya empat hal. Pertama, terkait sistem JKN, Kementerian Kesehatan harus menyelesaikan PNPK. Meninjau ulang secara berkala paket INA-CBGs dan kapitasi agar sesuai kebutuhan. Memperbaiki akurasi data kepesertaan, terutama penerima bantuan iuran (PBI). Memperkuat pengawasan di Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Kedua, terkait pengelolaan dana kapitasi harus didorong pembayaran kapitasi berbasis kinerja. Mencegah perpindahan PBI ke faskes swasta. Dinas kesehatan perlu aktif melakukan pengawasan misalnya melakukan pemotongan kapitasi. Ketiga, mengenai tata kelola obat JKN, KPK merekomendasikan semua daftar obat yang tercantum dalam formularium nasional (fornas) ditampilkan dalam e-Katalog obat, fungsinya sebagai kendali mutu dan harga. Proses tayang e-Katalog oleh LKPP layaknya dilakukan pada awal tahun. Fasilitas kesehatan (faskes) swasta perlu diberi kewenangan untuk mengakses e-Katalog. Perbaikan proses penyusunan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) oleh Kementerian Kesehatan. Penerapan sanksi kepada faskes yang tidak menyampaikan RKO dan Industri Farmasi yang tidak memenuhi komitmen. Keempat, untuk menangani fraud perlu dibentuk satgas penanganan fraud. Satuan tugas inilah yang menyusun pedoman penanganan fraud JKN, dan memulai penindakan fraud untuk memberikan efek jera. Selain itu, KPK juga menyoroti urgensi untuk segera menyelesaikan Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) untuk penyakit berbiaya dan berisiko tinggi. PNPK merujuk pada rencana aksi (renaksi) kajian JKN oleh KPK tahun 2013 yaitu 74 PNPK. Sementara itu, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menyatakan, pihaknya telah menyelesaikan sedikitnya 32 PNPK. Keseluruhannya, menurut dia, telah mencapai tahap finalisasi maupun masih berbentuk draft. (riz/gw/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: