KPU Harus Cari Solusi
JAKARTA - Harapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengupayakan tidak ada calon tunggal dalam Pilkada 2020 tak semudah yang dibayangkan. Fakta di lapangan, sering kali berbeda dengan harapan. Biaya yang besar menjadi salah satu alasan. Banyak kandidat mundur sebelum mencalonkan diri menjadi peserta pemilu. Akademisi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarok mengatakan, setiap kandidat yang maju dalam pemilihan kepala daerah dipastikan perlu modal besar. Mereka yang tidak mampu, tentu akan berpikir dua kali. Terutama menghadapi incumbent. \"Seara terori harapan KPU itu bagus. Biar pilkada kompetitif. Tapi fakta di lapangan tidak mudah. Untuk pemilihan bupati atau walikota saja, calon bisa habis Rp 25 miliar. Belum pilihan gubernur yang sampai ratusan miliar rupiah. Apakah KPU mau membantu membiayai agar calon lebih dari satu? ujar Zaki kepada Fajar Indonesia Network (FIN) di Jakarta, Jumat (9/8). Menurutnya, itu menjadi problem tersendiri yang harus dipikirkan lembaga penyelenggara pemilu. Ia menegaskan, tidak semua partai dan warga negara yang ingin maju dalam kontestasi lima tahunan punya modal sebesar itu. \"Jika aturan tersebut bisa direalisasikan, akan muncul fenomena baru. Yakni calon-calon boneka yang hanya menjadi pelengkap dan syarat sah. Apa juga mau dilarang? KPU harus mengatur kalau ingin aturannya membumi,\" bebernya. Zaki berpendapat, munculnya satu pasangan calon dalam pilkada disebabkan kurang baiknya kaderisasi yang dilakukan partai politik. Persoalan utamanya terletak pada politik biaya tinggi. \"Banyak kader yang hebat tidak bisa maju karena nggak punya duit. Itu masalahnya. Apa harus ngutang dulu ke bank ? KPU ditantang menemukan solusinya,\" ucap Zaki. Sebelumnya, KPU tengah mencari cara mengantisipasi munculnya calon tunggal di pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020. Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan, segala opsi akan dipertimbangkan lembaga penyelenggara pemilu untuk memunculkan persaingan di pilkada. \"Dalam Peraturan KPU (PKPU) mendatang itu mendorong di daerah agar tidak muncul calon tunggal,\" kata Wahyu. Lembaga penyelenggara pemilu inijuga berencana membatasi persentase maksimal koalisi partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah. Pembatasan ini untuk memastikan tak ada calon yang didukung oleh semua parpol dan menutup kemungkinan munculnya paslon lain. Pileg dan Pilpres Dipisah Terpisah, Managing Directory Cyrus Network, Eko Dafid Afianto, menyebut masyarakat puas dengan penyelenggara Pemilu 2019. Baik KPU maupun Bawaslu dinilai sudah netral. Meski begitu, masyarakat menginginkan sistem pemilu serentak diubah. Publik ingin pilpres dan pileg dipisah. \"Sebanyak 72 persen responden meminta pileg dan pilpres dipisah saja seperti semula,\" terang Eko. Cyrus Network melakukan survei nasional pasca pemilu pada 22 sampai 28 Juli 2019. Jajak pendapat ini mengambil 1.230 sampel di 34 provinsi di Indonesia. Tingkat kepercayaan survei 95 persen dengan margin of error kurang lebih tiga persen. \"Sebanyak 89 persen responden menyatakan KPU bertindak netral. Sementara 91 persen responden menyatakan Pemilu bertindak netral,\" tandasnya. (khf/fin/rh)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: