Lagi-lagi Istana Abaikan KPK

Lagi-lagi Istana Abaikan KPK

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA – Istana Negara tengah fokus dalam menyeleksi sejumlah figur yang bakal menempati jabatan Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sayangnya, lembaga antirasuah itu tidak dilibatkan dalam prosesnya. Ini merupakan catatan kedua, setelah sebelumnya KPK juga tidak bersentuhan langsung dengan lahirnya revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang disahkan DPR dan mulai berlaku 17 Oktober lalu. Menanggapi hal ini, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan tidak dilibatkan dalam memberikan rekomendasi oleh Presiden Joko Widodo. \"Saya malah ga tahu. Tidak ada. Siapa calonnya pun tidak tahu,\" kata Agus di gedung KPK, Jakarta, kemarin (6/12). Dewan Pengawas KPK adalah struktur baru dalam tubuh KPK berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK. \"Dalam UU kan sudah jelas, KPK itu pelaksana. Kalau undang-undangnya sudah bunyi begitu, KPK kan harus melaksanakan. Makanya kami nunggu penetapan dewas itu, kan nanti dilantik sama-sama dengan pimpinan baru,\" imbuh Agus. Anggota dewas berjumlah lima orang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK, menerima dan laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai dan lainnya. Dewas sendiri, rencananya akan dilantik bersama dengan pimpinan KPK periode 2019-2023 pada 21 Desember 2019. Baca Juga Dirut Garuda Dipecat, Jokowi : Jangan Ada Pejabat yang Mengulangi Nah, dalam proses menyaring calon-calon anggota Desas KPK, tim internal menjelaskan akan mencari tokoh dengan rekam jejak anti korupsi. \"Dalam politik hukum kita adalah anti korupsi, jadi orang-orang yang jelas track recordnya anti korupsi itulah yang jadi tambahan untuk syarat normatif di Undang-Undang Nomor 19,\" kata Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman. Menurut dia, syarat rekam jejak anti korupsi tersebut menambah syarat normatif yang ada di Undang-Undang No 19 Tahun 2019. Tim internal yang memilah calon-calon anggota Dewas KPK telah ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo, antara lain Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana, Staf Khusus Presiden Sukardi Rinakit, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono, serta termasuk Fadjroel Rachman. Tim mendapat masukan dari sejumlah pihak dan akan menyampaikan usulan nama kepada Presiden, lalu setelahnya akan dilakukan pemeriksaan latar belakang. \"Pak Presiden mengatakan Insya Allah kita sebagai tim internal kerja sebaik-baiknya dan Insya Allah bisa memberikan yang terbaik sehingga cita-cita bersama untuk anti korupsi itu bisa berjalan,\" ujar Fadjroel. Presiden Jokowi masih menyaring sejumlah figur untuk menduduki jabatan sebagai Dewas KPK yang merupakan struktur baru dalam tubuh KPK berdasarkan UU No 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK. Untuk diketahui, penetapan Dewas sejalan dengan UU KPK hasil revisi yang telah disahkan oleh DPR. Pengamat Hukum Administrasi Negara Johanes Tuba Helan mengatakan secara kedudukan hukum, UU tersebut berlaku meski tanpa ditandatangani Presiden Joko Widodo. Baca juga Ratusan Pemuda di Dunia Belajar Demokrasi ke Indonesia Berkaitan dengan nasib UU KPK hasil revisi, jika Presiden Jokowi tidak menandatangani naskah UU tersebut. Menurut dia, UU tersebut hanya bisa batal diberlakukan jika Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu), sesuai dengan harapan rakyat. Sesuai dengan undang-undang, Presiden diberikan waktu selama 30 hari untuk menandatangani UU tersebut setelah disahkan oleh DPR. Artinya, selama rentang waktu 30 hari itu, jika Presiden tidak menandatanganinya. ”Maka UU itu akan berlaku secara otomatis sejak disahkan DPR, kecuali Presiden mengeluarkan Perppu karena pertimbangan situasi keamanan dalam negeri,” kata Tuba Helan. Posisi ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. \"Jika ada pihak yang merasa tidak setuju, maka bisa menggunakan jalur hukum, yakni Mahkamah Konstitusi (MK),\" kata mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTT-NTB itu. (fin/ful)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: