Lockdown di Tangan Jokowi
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Pasca ditetapkannya virus Corona (COVID-19) sebagai pandemik global oleh World Health Organization (WHO), Presiden Joko Widodo meminta kepada kepala daerah dapat menentukan status wilayah yang dipimpinnya terkait dengan penyebaran wabah tersebut. Kepala daerah diminta berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait rencana penetapan status. Namun, langkah Jokowi Presiden menuai sejumlah kritik. Pada Selasa (17/3) kemarin, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian usai menggelar pertemuan dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjelaskan secara rinci mengenai ketentuan dan mekanisme dilakukannya lockdown yang ada dalam aturan perundang-undangan. Menurut Tito, ada UU yang mengatur soal lockdown. Yakni UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. “Kita mengenal dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Ada 4 jenis pembatasan yang disebut dengan karantina,\" tegas Tito di Balai Kota Pemprov DKI Jakarta, Selasa (17/3) kemarin. Jenis karantina yang diatur dalam UU Kekarantinaan, lanjut Tito, mulai dari pembatasan atau karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah, dan pembatasan sosial yang bersifat massal atau massif di masyarakat. Untuk pembatasan wilayah, disebut dengan istilah lockdown. \"Jadi dalam UU itu ada tujuh hal yang harus dipertimbangkan. Mulai pertimbangan efektivitas, pertimbangan tingkat epidemi, sampai ke pertimbangan ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Di sini kami sampaikan tentang pembatasan atau karantina kewilayahan,\" jelasnya. Karena sudah menyangkut aspek ekonomi, untuk pembatasan wilayah dalam jumlah besar menjadi kewenangan pusat. Sebab terkait dengan dampak ekonomi yang berkaitan dengan masalah moneter dan fiskal. Untuk masalah moneter dan fiskal, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan tegas menyatakan menjadi urusan atau kewenangan Pemerintah Pusat. \"Dalam hal ini Presiden sudah menyampaikan untuk karantina kewilayahan, pembatasan kewilayahan kepala daerah untuk mengkonsultasikan dengan Pemerintah Pusat. Sudah ditunjuk komandan atau Kepala Gugus Tugas Percepatan Covid-19. Yakni Kepala BNPN Pak Doni Monardo,\" papar mantan Kapolri ini. Untuk itu, Kemendagri telah menerbitkan Surat Edaran (SE) kepada kepala daerah, ketua DPRD dan anggota, serta aparatur sipil negara (ASN). Surat Edaran Nomor 440/2436/SJ itu berisi tentang pencegahan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di lingkungan pemerintah daerah (selengkapnya lihat grafis, Red). \"Dalam SE itu, Gubernur/Bupati/Wali Kota sesuai situasi kondisi di wilayah masing-masing untuk melaksanakan langkah-langkah dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19,\" ucapnya. Apabila terdapat ada rapat yang harus dihadiri dalam rangka menjalankan tugas kedinasan, penyelenggara pemerintahan daerah dan ASN hendaknya memanfaatkan sarana telekonferensi atau video konferensi. \"Surat edaran ini berlaku efektif mulai tanggal ditetapkan. Yakni 17 Maret 2020 sampai 31 Maret 2020. Selanjutnya akan dievaluasi lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan. Selaku Mendagri, saya minta ini menjadi perhatian dan dilaksanakan,\" tegas mantan Kapolda Metro Jaya ini. Sementara itu, Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf memandang bahwa Presiden Jokowi bertanggung jawab penuh mengambil alih komando dalam penanganan kasus Covid-19. Ia menambahkan, Presiden Jokowi perlu menjadi garda terdepan dalam memberi kepastian rasa aman bagi publik di tengah situasi genting. Peran komando ini seyogyanya dilakukan oleh figur setingkat Presiden, bukan Menteri apalagi Kepala Daerah. “Jauh sebelum situasi ini terjadi kami telah mengingatkan pemerintah agar siaga dalam menghadapi ancaman COVID-19. Tetapi sangat disayangkan masih ada sebagian pihak yang justru mem-bully sikap. Namun, kami mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang akhirnya mengambil tindakan, tepatnya pada 2 Maret, dengan memberikan keterangan bahwa ada WNI yang positif terjangkit virus Corona saat itu”, ujar Bukhori. Dia menyesalkan sikap Jokowi yang terkesan cuci tangan dengan melimpahkan status bencana Corona ke daerah. Ia mengimbau kepala daerah tidak dibiarkan memberikan ijtihad-nya masing-masing dalam merespon penyebaran virus yang semakin meluas ke sejumlah kota di Indonesia. Menurutnya, harus ada arahan jelas dan komando yang terukur dan terpusat dari Presiden dengan tetap memperhatikan tindakan pre-emtif sebagai upaya mitigasi meluasnya bencana. “Berkaca dari perkembangan terkini kasus Corona, saya menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan tidak siap. Bahkan gagap dalam menghadapi penyebaran virus Corona. Artinya, dengan menimbang kejadian tersebut, sepatutnya Presiden menarik kembali keputusannya. Mulai mengambil alih komando secara terpusat. Sebab, penanganan penyebaran virus Corona membutuhkan pendekatan integralistik antar wilayah. Mengingat interaksi antar manusia begitu luas dan multi segmen” pungkas politisi PKS ini. Terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menilai kebijakan pembatasan aktivitas publik bukan berarti pelayanan harus terhenti. Sebab, hal ini dikhawatirkan akan membuat krisis di masyarakat. \"Pembatasan aktivitas sosial harus dilakukan. Namun, bukan berarti transportasi umum dan pasar juga ditutup. Hal ini justru bisa membuat krisis publik yang lebih besar,\" kata Sahroni di Jakarta, Selasa (17/3). Ia menilai merebaknya COVID-19 di Indonesia mengharuskan pemerintah mengambil tindakan cepat dan taktis. Namun, dalam pengambilan keputusan, tetap harus memerhatikan iklim kondusif masyarakat. Dia menyarankan beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah agar penyebaran virus tersebut tidak makin parah. \"Larang acara yang melibatkan banyak orang di satu tempat. Tutup pintu keluar masuk Indonesia dari dan ke luar negeri. Tetapi, transportasi umum harus beroperasi normal. Begitu pula fasilitas umum seperti pasar, supermarket juga tetap buka seperti biasa,\" paparnya.(khf/fin/rh)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: