MAN Parakan Keluarkan ISP Sudah Sesuai Prosedur, LBH Pengayoman Mengecam
TEMANGGUNG, MAGELANGEKSPRES.COM- Ketua Bidang Kesiswaan MAN Parakan Temanggung, Husni menyatakan langkah penerbitan surat pengunduran diri terhadap ISP, siswi kelas XII yang telah hamil tersebut sudah sesuai prosedur dan aturan yang diberlakukan oleh yayasan. Dia menyebutkan bahwa aturan siswa-siswi yang terbukti berbuat asusila, hamil, melakukan kriminal, dan penyalahgunaan narkoba harus mengundurkan diri dari sekolah tersebut alias dikeluarkan. “Kita tidak mau terlibat lebih jauh dalam urusan penanganan hukum terhadap ISP. Berat sebenarnya. Tapi aturan itu sudah disepakati oleh seluruh pihak termasuk orang tua/wali dan berlaku tidak pandang bulu. Kalau tidak kita tempuh upaya terhadap ananda ISP, kami dan komite khawatir murid yang lain menganggap remeh aturan tersebut,” ungkapnya. ISP (18) asal Dusun Klowok Kidul, Desa Kemloko, Kecamatan Kranggan diperkosa ayah tirinya sendiri yang bernama Wahyu Nugroho (31) hingga hamil. Pihak sekolah telah memaksa ISP dan ibunya untuk menandatangani surat pengunduran diri pada Sabtu (19/2) lalu. Kuasa hukum korban, Totok Cahyo Nugroho dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pengayom.menyatakan bahwa pihak sekolah telah salah mengambil keputusan. Pasalnya, korban yang kini tengah mengandung janin berumur 12 bulan itu justru dipaksa berhenti menempuh pendidikan secara sepihak meski tak lama lagi, kliennya itu akan melaksanakan ujian kelulusan, tepatnya bulan Maret 2022. “Saya sudah menggali informasi dari korbannya sendiri dan orang tua, dalam hal ini ibunya secara langsung. Mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran diri dari pihak sekolah. Padahal ini bertentangan dengan keinginan mereka yang tetap ingin mengikuti ujian yang hanya tinggal hitungan hari saja akan digelar. Apakah itu yang dinamakan bijak, dari kacamata saya, tidak ada unsur keadilan dalam perkara itu,” tegasnya, Selasa (22/2). Tanpa berniat mengkesampingkan nama baik atau reputasi sekolah, imbuhnya, pendidikan adalah hak seorang anak yang tidak bisa direnggut oleh siapapun dan dengan alasan apapun. Bahkan, hal itu sudah diatur oleh konstitusi negara. Dalam perkara tersebut, ia melihat terdapat dua permasalahan yang harus segera diselesaikan secara cermat, tepat, dan bijak agar tidak berimbas pada kondisi psikologis anak selaku korban, termasuk guncangan kejiwaan ibunya yang mengaku tertekan menghadapi dilema kasus tersebut. “Pertama di ranah pidana sudah jelas, kalau memang benar ayah tirinya yang melakukan rudapaksa, ia diancam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua, perspektif pendidikan yang mana pihak MAN telah memaksa dia untuk berhenti bersekolah. Ini bertentangan dengan Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (1) yang berbunyi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Coba turunkan ego dan pakailah nurani, bagaimana kalau yang jadi korban adalah anak dari pihak yang mengambil keputusan blunder itu,” cecarnya. Atas dasar itulah, pihaknya selaku kuasa sekaligus pendampingan hukum meminta agar seluruh pihak duduk bersama menyelesaikan perkara tersebut. Baik aparat kepolisian untuk segera menangkap terduga pelaku yang kini sudah melarikan diri, sekaligus pihak sekolah untuk dapat memberikan jalan tengah yang memuat asas keadilan. “Kasihan, jangan sampai korban dan ibunya justru frustasi karena masalah tersebut,” desaknya. ISP mengaku dirinya sampai detik ini merasakan derita yang sangat mendalam. Ia merasa dua kali menjadi korban, pertama karena rudapaksa yang menyebabkan dirinya harus berbadan dua di usia muda. Kedua, dikeluarkan oleh pihak sekolah secara sepihak dengan dalih penerbitan surat pengunduran diri yang terpaksa harus ditandatangani akibat tekanan, desakan, dan paksaan tanpa diberikan ruang negosiasi terlebih dahulu. (riz)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: