Penolakan Jokowi Jadi Dasar
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Penolakan Presiden Joko Widodo atas wacana pemulangan eks kombatan ISIS asal Indonesia menjadi dasar sikap pemerintah. Meski demikian, pemerintah masih terus membahasnya. Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan dirinya bersama sejumlah Menteri di Kabinet Indonesia Maju, terus membahas rencana pemulangan eks Kombatan ISIS. Namun sikap Presiden Jokowi akan menjadi dasar dalam memutuskan kebijakan. \"Pasti lah menjadi dasar untuk dibahas. Pasti,\" katanya usai rapat dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Agama Fachrul Razi dan Kepala BNPT Suhardi Alius di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (11/2). Menurutnya sangat wajar munculnya pro-kontra di masyarakat terkait rencana pemulangan eks ISIS atau Foreign Terrorist Fighters (FTF) ke Tanah Air. Dikatakannya, salah satu yang dibahas dalam rapat tersebut soal dasar hukum tentang apa yang harus dilakukan pemerintah. Pendapat yang beredar di masyarakat dan diutarakan tokoh nasional juga dibicarakan. \"Ada yang mengatakan seperti Pak Din Syamsudin, Komnas HAM mengatakan itu tugas negara untuk memulangkan mereka. Tapi, ada yang mengatakan, \\\'enggak bisa dong masa melindungi segelintir orang tapi mengancam 267 juta orang\\\'. Kayak gitu-gitu diskusinya tadi,\" imbuh Mahfud. Mahfud menyebut rapat menghasilkan sejumlah opsi yang perlu dilakukan pemerintah. Opsi-opsi itu akan dilaporkan kepada Presiden Jokowi pada siang hari ini. \"Kita sudah membuat alternatif-alternatif yang nanti siang akan dilaporkan ke Presiden,\" kata dia. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dengan tegas tetap menolak pemulangan eks kombatan ISIS. \"Kami PBNU menolak kepulangan kombatan ISIS karena mereka sudah pergi ke sana dengan kemauan sendiri. Setelah datang ke sana mereka ramai-ramai bakar paspor dan mengatakan ini paspor negara thogut,\" katanya bertemu Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Ditegaskan, WNI yang bergabung dengan kelompok radikal tersebut tidak hanya mengancam membunuh tokoh negara, tapi juga mengancam Banser dalam sebuah video.Tidak hanya itu, mereka juga sudah menganggap ISIS sebagai negara. \"Oleh karena itu kenapa kita bicara pemulangan 600 orang kalau itu akan mengganggu ketenangan, kenyamanan 260 juta warga Indonesia,\" katanya. Sementara itu, peneliti Imparsial Hussein Ahmad menyarankan agar pemerintah dapat memulangkan mereka. \"Pemerintah sebaiknya mengambil pilihan untuk memulangkan dan tidak mencabut kewarganegaraan mereka,\" katanya. Dengan mempertimbangkan status kewarganegaraan merupakan sebuah hak yang sangat berharga. Oleh karena itu, sanksi pencabutan kewarganegaraan sebaiknya dihindari. \"Terlebih Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal dan tak menganut asas kewarganegaraan ganda,\" katanya. Menurutnya, jika opsi pencabutan kewarganegaraan ditempuh, maka akan berpotensi merendahkan derajat kehormatan manusia. Sedangkan Direktur Imparsial Al Araf mengatakan pemerintah tak bisa melepas tanggung jawab dari kewajiban konstitusionalnya dalam menangani WNI. Status sebagai warga negara pada dasarnya menjadi sebuah hak yang dijamin dalam konstitusi. \"Terjaminnya kewarganegaraan dalam konstitusi Republik Indonesia sebagai sebuah hak adalah perwujudan dari pengakuan negara akan keterikatan individu dalam komunitas politik bangsa Indonesia,\" katanya. Karenanya Imparsial mengusulkan pemerintah memilah-milah peran mereka jika seandainya dipulangkan ke Tanah Air. \"Pemerintah sebaiknya melakukan proses hukum terhadap WNI yang memang terlibat kejahatan terorisme ketimbang mencabut kewarganegaraannya,\" katanya.(gw/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: