Perkembangan Desa Wisata Dinilai Lamban

Perkembangan Desa Wisata Dinilai Lamban

MAGELANGEKSPRES.COM, PURWOREJO - Perkembangan desa wisata di sejumlah wilayah Kabupaten Purworejo dinilai lamban. Puluhan desa wisata yang dirintis sejak beberapa tahun silam hingga kini stagnan lantaran terkendala infrastruktur. Dari 31 desa wisata yang bermunculam, sebagian besar masih dikategorikan embrio atau pemula dan baru dua desa wisata yang telah masuk kategori desa wisata rintisan. Bahkan, belum ada satupun desa wisata yang masuk dalam kelompok maju selama geliat wisata mulai dikembangkan. Kasi Pengembangan Objek Daya Tarik Wisata di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Dinparbud) Kabupaten Purworejo, Helmi Fuad, tidak menampik kondisi itu. “Memang sebagian besar desa wisata masih berstatus embrio. Hal ini dikarenakan belum majunya pengelolaan yang dilakukan oleh masing-masing kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Untuk itu kami berusaha meningkatkan kesadaran potensi wisata melalui lomba desa wisata yang puncaknya akan berlangsung pada bulan Maret 2019 mendatang,” katanya, saat Sosialisasi Lomba Desa Wisata Tahun 2019 di Gedung Kesenian Sarwo Edi Wibowo, Kamis (7/2). Menurutnya, kemajuan desa wisata bergantung pada kesadaran masyarakat sebagai pelaku sekaligus pengelola potensi wisata di wilayahnya. Pemerintah daerah khususnya Dinparbud sebagai instansi pemerintah yang membidani pariwisata hanya membantu berupaya meningkatkan kualitas manajemen serta memberikan dukungan sarana wisata seperti insfrastruktur. “Terkait dengan peran pemerintah, kami sifatnya hanya membantu. Pelakunya masyarakat itu sendiri, mengingat pada prinsipnya desa wisata lahir dan langsung dilakukan oleh masyarakat,” ungkapnya. Lomba Desa Wisata Helmi juga mengakui selama ini belum ada anggaran khusus dari pemerintah daerah untuk membangun atau mengembangkan desa wisata. Meski demikian, Pemkab Purworejo terus berupaya mendongkrak peningkatan pengelolaan desa wisata. Salah satunya melalui lomba desa wisata tersebut, ditambah dengan hadiah yang disiapkan cukup besar untuk menarik partisipasi pelaku desa wisata. “Total hadiahnya Rp165 juta,” sebutnya. Sementara itu, bebera praktisi desa wisata menilai kebutuhan pengembangan wisata desa terbesar ada pada sektor insfrastruktur. Seperti halnya di wilayah Kecamatan Bruno yang memiliki letak geografis cukup sulit untuk dijangkau karena belum mendapat sentuhan pembangunan infrastruktur jalan menuju lokasi wisata. “Yang paling penting adalah insfrastrukturnya, terutama yang menuju lokasi wisata itu masih minim sekali pembangunan,” kata Wahyu Widayat, praktisi desa wisata Desa Kaliwungu Kecamatan Bruno. Apalagi, lanjut Wahyu, wisata air terjun yang dikelola desanya berada di dalam hutan dan cukup jauh dari jalan, sehingga pengunjung harus berjalan kaki melalui jalan setapak yang sulit untuk dilalui. Sekdes Gedangan, Adi Afri Anto, mengungkapkan hal senada. Menurutnya, objek wisata mangrove yang dikelola Pokdarwis Demang Gedi di wilayahnya mengalami kesulitan membangun insfrastuktur jalan bagi wisatawan. Padahal, menurutnya pemerintah desa sudah menganggarkan kebutuhan itu melalui dana desa. “Masalah kami sebenarnya sama, yaitu pada pembangunan insfratruktur, mengingat anggaran desa kecil. Padahal kami sudah menganggarkan dana desa untuk mengembangkan desa wisata, tetapi tetap saja belum cukup,” ungkapnya. Adi menyebutkan, setiap tahun anggaran, pemerintah desa Gedangan menganggarkan tidak kurang dari Rp100 juta untuk kepentingan desa wisata. Tahun ini, suntikan dana tersebut juga dilakukan melalui penyertaan modal usaha desa di bidang wisata mangrove. Sementara itu, pendapatan desa dari sektor tersebut baru berkisar Rp5 juta per tahun. (top)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: