Pesona Pasar Inis Surga Kecilnya Para Turis
Peka Era, Wisata Berbasis Sawah di Desa Brondongrejo Mendunia Pasar Inis kian melebarkan senyum warga di Desa Brondongrejo Kecamatan Purwodadi Kabupaten Purworejo. Kendati belum lama dirintis, destinasi wisata berbasis sawah itu terus menyita perhatian publik. Para pegiat media sosial (Medsos) ramai memperbincangkan. Wisatawan dari berbagai penjuru dunia berdatangan. EKO SUTOPO, Purworejo Terima Kasih petit paradis! @pasarinis. Petit village excentré, bonheur assuré. On continue notre partage sportif et culturel de village en village. Le temps passe très vite. Les rencontres sont aussi folles que touchantes. Sederetan kata itu jadi secuil kekaguman 4 petualang dunia sekaligus artis Perancis usai mampir di Pasar Inis, belum lama ini. Mereka yang di-endorse GoPro untuk keliling dunia, menulis kenangan manisnya di akun Instagram (IG) bernama 4oupascap. Jika diterjemahkan, lebih kurang artinya: Terima kasih surga kecil! @pasarinis. Desa kecil di luar kota, kebahagian terjamin. Kami terus berbagi olahraga dan budaya kami dari desa ke desa. Waktu berjalan cepat. Pertemuan itu sama gilanya dengan sentuhan mengesankan. Catatan kecil 4 ou pas cap sangat mendalam, meski belum sempurna untuk merangkum keunikan dan keramahan Pasar Inis. Selain 4 petualang itu, tercatat sejumlah turis lain asal Perancis pernah singgah. Sebut saja Anais (26), duta budaya program pertukaran budaya Indonesia. Bertepatan dengan Hari Tari Internasional 2019 kemarin, Anais menyempatkan senam dan menari bareng warga di pasar yang buka setiap hari Minggu itu. Mengupas sisi kreativitas Pasar Inis tak ada habisnya. Ada saja tematik yang diangkat dan membuat wisatawan mancanegara (Wisman) terpikat. Seperti saat Purworejo Ekspres berkunjung pada Minggu (21/7). Pagi itu, area persawahan yang menjadi pusat Pasar Inis ramai pengunjung. Di lahan pinggiran yang tidak lebih luas dari lapangan sepak bola, ratusan warga menyatu, menikmati nuansa pasar tradisional. Aneka kuliner ala desa ada, seperti sega pincuk, tiwul, geblek, jagung rebus, dan wedang telang tanpa selang. Seiring terbitnya matahari, sekelompok remaja duduk santai sambil mengabadikan diri. Rombongan kaum hawa senam bersama. Anak-anak didampingi sang bapak asyik menjajal permainan tradisional yang kini telah langka. Semakin siang, para pedagang yang mengenakan caping serta kostum khas petani desa, semakin sibuk melayani pembeli. Mereka bertransaksi menggunakan ‘duit pring’ atau uang bambu yang sebelumnya ditukar pembeli dengan uang sungguhan di lapak khusus penukaran uang atau money changer-nya Pasar Inis. Sementara di tengah keramaian, tampak serombongan turis. Mereka ceria bercengkrama dengan warga. Ada satu sosok istimewa, yakni Caroline, ibu dari duta besar (Dubes) Perancis untuk Indonesia. “Saya senang sekali. Yang paling saya suka atsmosfer, budayanya kaya, makanan, dan penduduk yang ramah. Ini pengalaman yang unik, pasar ini otentik, alami, dan belum pernah saya temukan,” kata Caroline kepada Purworejo Ekspres. Caroline juga mengaku senang dapat menjumpai anak-anak dengan berbagai latar belakang kebudayaan Indonesia hari itu. Mereka adalah penyandang tuna rungu yang tergabung dalam komunitas Deaf Art Community (DAC) Yogyakarta. Keterbatasan fisik tak menjadi penghalang berkomunikasi. “Hari ini Pasar Inis kedatangan tamu keluarga Dubes Perancis untuk Indonesia dan teman-teman DAC Jogja. Nah, kebetulan tematik kami hari ini mendengar, jadi mereka kami beri kesempatan untuk memberikan masukan demi kemajuan Pasar Inis,” kata Rianto Purnomo, warga setempat yang menjadi fasilitator Pasar Inis dari Yayasan Bintang Paseban. Perkembangan Pasar Inis memang sangat pesat sejak kali pertama buka pada 8 April 2018. Setelah mendapat pengakuan dari Kementerian Pariwisata (Kemenpar) RI dan diresmikan sebagai Pasar Destinasi Digital pada 28 Oktober 2018, Pasar Inis menanjak naik. Terbukti, jumlah lapak utama yang dikelola warga terus bertambah, dari 3 menjadi 12. Lokasi Pasar Inis yang hanya berjarak sekitar 7 Km dari pusat kota Purworejo ke arah tenggara juga mampu menyedot perhatian tokoh-tokoh. Tercatat Bupati Purworejo Agus Bastian SE MM serta pejabat Forkominda pernah mendatangi destinasi ini. Ada juga dari luar daerah, di antaranya Generasi Pesona Indonesia (Genpi) Jawa Tengah dan pusat, para pejabat Kemenpar RI, Kementerian PAN-RB, dan artis Raya Kitty. “Kunjungan wisatawan terus bertambah, tidak hanya dari Perancis, banyak juga yang lain seperti Afrika, Australia, dan Taiwan,” sebutnya. Melimpahnya pengunjung membuat warga lebih mudah menjaring rupiah. Dalam sekali buka saja, setiap lapak rata-rata bisa meraup omzet Rp700 ribu hingga Rp2,5 juta. Jumlah itu bisa berlipat-lipat saat ada even khusus. Purnomo yang dikenal sebagai seniman tari Purworejo ini tahu betul proses dan perjuangan warga sejak awal. Pasar Inis berangkat dari keinginan untuk menguatkan kebanggaan masyarakat menjadi petani. “Kita tidak rela melihat petani terpuruk ekonominya, apalagi sampai menjual sawah,” bebernya. Pemakaian diksi Pasar Inis merujuk kebiasaan masyarakat desa, yakni ‘Nginis’ yang berarti mencari udara segar sambil bersantai. Sementara lahan yang ditempati sebagai pusat Pasar Inis disediakan gratis oleh warga. Dari kisah yang berhasil dikorek masyarakat, konon zaman dahulu daerah itu menjadi pusat pasar urup-urup atau jual beli dengan sistem barter. “Jadi kita ingin angkat kembali suasana jual beli tradisional yang sudah lazim itu, dipadukan dengan kebutuhan wisata sekarang,” lanjutnya. Pelan tapi pasti, Pasar Inis mampu menepis anggapan pesimis bahwa penghasilan petani hanya sebatas panen padi. Didukung dengan potensi seni budaya, penduduk di Brondongrejo yang tidak lebih dari 130 KK pun tambah bergairah. “Kesadaran untuk mempertahankan kualitas dan menambah ilmu sudah tumbuh. Bayangkan, mereka sampai menyisihkan uang hasil jualan untuk studi banding. Dan itu tidak diarahkan,” ungkapnya. Meski mayoritas pelapak berusia tua, mereka peka kebutuhan wisatawan era Millennial Tourism. Promosi digital digencarkan. Bahkan, masing-masing kini memiliki lebih dari 5 akun Medsos. “Warga tidak cuma memasarkan kuliner, tapi juga produk kerajinan. Pemasarannya lewat online. Bahkan, pelapak yang paling banyak omzetnya sekarang punya sampai 18 akun,” ucap Purnomo. “Yang membuat bangga, satu-satunya destinasi pasar digital yang anggotanya tua-tua di Indonesia ya Pasar Inis. Tapi di sini pedagang sadar kebutuhan era millennial sehingga tampil instagramable,” imbuhnya. Di tengah bermunculannya destinasi serupa di banyak daerah, Pasar Inis tetap eksis. Para remaja yang menamai diri Kinjeng Brondongrejo setia mendampingi. Sejalan dengan Genpi pusat, mereka gerilya promosi. Membidik lalu menyebarkan setiap detail keunikan dan keindahan. Wajar saja jika di berbagai Medsos, nama Pasar Inis nemempati urutan atas. “Kita juga terus berinovasi dengan even dan tematik yang berbeda,” kata Ketua Paguyuban Pasar Inis, Ester Yuniastuti. Wisatawan yang ingin ke Pasar Inis kini makin mudah seiring beroperasinya Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) di Kabupaten Kulon Progo. Hanya butuh waktu tempuh sekitar 20 menit. Jalur darat juga dekat karena ada Stasiun Kereta Api Jenar, sekitar 5 menit dari Pasar Inis. Sementara untuk menuju destinasi wisata lain, seperti kawasan Pantai Dewaruci, Glamping di Loano, dan wisata pusat kota, Pasar Inis terhubung strategis. Puas di Pasar inis, wisatawan yang ingin melanjutkan ke Candi Borobudur di Magelang hanya butuh waktu sekitar 1 jam perjalanan. “Kebutuhan wisatawan seperti fasilitas MCK dan home stay sudah ada. Kita terus berbenah dan mengikuti perkembangan,” pungkasnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: