Petahana Nyalon Lagi, Rawan!

Petahana Nyalon Lagi, Rawan!

MAGELANGEKSPRES.COM,BALI – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut 230 potensi petahana (incumbent) yang akan menyalonkan diri kembali pada Pilkada Tahun 2020 adalah bagian dari Indeks Kerawanan Pemilu yang dikeluarkan oleh Bawaslu. Pernyataan Mendagri dalam Rapat Koordinasi Bidang Politik dan Pemerintahan Umum dan Deteksi Dini Mendukung Sukses Pilkada Serentak Tahun 2020 di Bali Nusa Dua Convention Center, Kamis (27/2). Tito menegaskan tidak ada tendensi memaknai dan menduga petahana dalam menyalahgunakan kekuasaan, apabila mencalonkan diri kembali pada Pilkada 2020 dan dari potensi 230 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut belum tentu juga mencalonkan kembali. ”Maksudnya ada potensi kurang lebih 230 kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang petahana dan berpotensi akan mencalonkan lagi, padahal itu kan bagian dari Indeks Kerawanan Pemilu yang dikeluarkan oleh penyelenggara Pemilu dalam hal ini Bawaslu. Tidak maksud ada potensi penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan petahana, acuannya jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 71 UU Nomor 10 Tahun 2016,” kata Mendagri. Selain itu Mendagri Tito juga menegaskan bahwa ini perlu diperhatikan baik-baik bagi para petahana yang menyalonkan lagi di Pilkada2020 jangan menyalahgunakan wewenang karena dalam Indeks Kerawanan Pilkada yang dikeluarkan Bawaslu, hal itu ada. Artinya, mesti taat aturan. Dalam UU pun, telah diatur dengan tegas, terkait soal itu, mulai dari larangan pergantian pejabat enam bulan sebelum tanggal pencalonanan sampai akhir masa jabatan, kecuali ada persetujuan tertulis dari Mendagri. Tidak hanya itu Mendagri juga ingatkan petahana juga dilarang menggunakan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam enam bulan sebelum tanggal penetapan calon. Artinya UU Nomor 10 Tahun 2016 juga telah memberi rambu agar petahana yang maju lagi dalam pencalonan tidak menyalahgunakan wewenangnya. ”Jadi jelas di sini yang menjadi rujukananya yaitu Pasal 71 UU Nomor 10 Tahun 2016 dan Indeks Kerawanan Pemilu yang dikeluarkan Bawaslu, bukan menyatakan bahwa petahana yang maju pasti atau berpotensi salahgunakan wewenang atau kekuasaan. Ini hanya imbauan agar petahana itu taat kepada rambu-rambu UU, Karena ada sanksi yang diatur. Tujuannya ingin Pilkada itu berjalan demokratis. Kompetisinya fair dan adil,” paparnya. ”Ketentuan penggantian jabatan hanya untuk mengisi kekosongan jabatan dengan sangat selektif, serta tidak melakukan mutasi/rotasi dalam jabatan, kemudian proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi dilaksanakan melalui seleksi terbuka sebagai amanat ketentuan pasal 108 UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN. Apabila belum dilaksanakan seleksi terbuka, maka untuk mengisi kekosongan jabatan dapat diangkat Plt. dengan mempedomani surat edaran dari BKN,” jelasnya. Sementara itu, untuk tata cara penggantian pejabat di daerah Tito menyebut, ada beberapa tahap. Pertama, Gubernur dan/atau Plt./Pj/Pjs Gubernur mengajukan permohonan penggantian pejabat melalui layanan aplikasi sistem informasi online layanan administrasi (SIOLA) Kemendagri dan e-mutasi (selengkapnya lihat grafis). ”Dengan demikian jelas bahwa pernyataan mengenai 230 potensi petahana tersebut merujuk pada data yang dikeluarkan Bawaslu, dan potensi itu juga merujuk pada undang-undang, dan perlu saya tegaskan kembali bukan berpotensi menyalahgunakan kekuasaan pada Pilkada 2020 ini harus diluruskan,” ungkapnya. Penyambung dari penegasan Mendagri, Plt. Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad menambahkan, demokrasi berawal dari penyelenggara Pemilu yang berintegritas. ”Demokrasi yang diawali dari Pemilu, harus menghasilkan pemimpin yang berintegritas, dan Pemilu yang berintegritas, diawali dari Penyelenggara Pemilu yang Berintegritas,” tegas Muhammad. Ditambahkannya, Pemilu merupakan proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan amanat Konstitusi. Semua negara demokrasi pasti menyelenggarakan Pemilu, tapi tidak semua Pemilu berlangsung demokratis. ”Kami di DKPP ini sering disebut sebagai malaikat Izrail, malaikat pencabut nyawa, padahal bekerja karena memang sudah ada ketetapan bahwa makhluk Tuhan itu nyawanya dicabut Izrail ini tidak tiba-tiba, tapi karena memang sudah waktunya dicabut. Dan itu belaku jika penyelenggara Pemilu tidak bisa menjaga integritas amanah,” cetusnya. Plt. Ketua DKPP ini juga mengibaratkan lembaganya, seperti dokter yang dapat melakukan tindakan terbaik untuk pasiennya, dan tak segan-segan memberikan tindakan terburuk untuk menjaga anggota tubuh lainnya agar tak terkena penyakit. ”DKPP itu seperti dengan dokter di kamar operasi. Kalau ada luka kecil di bagian tubuhnya dan diagnosa bisa sembuh, maka dengan otoritas keilmuan dokter dia putuskan untuk diobati, diinjeksi, diperban, suruh balik lagi dengan harapan luka itu bisa sembuh,” timpalnya. Tetapi, sambung dia, kalau luka itu ternyata berpotensi kanker dan bisa merusak bagian tubuh yang lain, dengan otoritas keilmuannya (dokter) tidak ragu-ragu untuk memutuskan untuk diamputasi bagian tubuh ini. ”Supaya menyelamatkan bagian tubuh yang lain. Kalau DKPP terpaksa harus sampai pada keputusan pemberhentian, itu benar-benar menjaga marwah lembaga KPU dan Bawaslu, makanya jangan takut dengan DKPP,” timpalnya. Dalam Penanganan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku, serta dalam rangka standarisasi perilaku etik penyelenggaran Pemilu, pedoman etika dan perilaku penyelenggaran Pemilu hanya berpedoman pada Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pedoman Kode Etik dan Kode Perilaku Penyelenggara Pemilu. Adapun hukum beracara penegakkan kode etik dapat disesuaikan dengan Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu. Sementara itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman dalam kesempatan yang sama meminta Pemerintah Daerah tak mengubah Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang telah diselesaikan. ”Anggaran yang sudah diajukan oleh 270 daerah yaitu Rp. 11,9 triliun, tetapi setelah pembahasan, yang bisa disepakati yaitu Rp. 9,9 triliun. Tetapi di beberapa daerah ada Pemda yang melakukan revisi/mengubah kesepakatan dalam NPHD yang dibuat sebelumnya, ini nanti akan kami cari solusinya, contohnya di Kabupaten Karangasem,” kata Arief. Dikatakan Arief, terjadinya pembahasan pasca terjadinya NPHD seharusnya tak lagi terjadi, pasalnya NPHD merupakan keputusan kedua belah pihak yang telah bersifat final. Oleh karenanya, jika masih ada daerah yang masih melakukan pembahasan, maka akan dilakukan mediasi dengan Kemendagri sebagai pembina pemerintah daerah. ”Harusnya revisi NPHD yang telah dibuat ini tidak terjadi, tapi kenyataannya masih ada daerah yang melakukan pembahasan. Inilah yang nanti akan kita cari solusinya difasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri,” jelasnya. Dalam kesempatan yang sama, ia juga menjelaskan tahapan pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2020 yang tengah memasuki tahapan penyerahan dukungan untuk bakal calon perseorangan. Meski demikian, pendaftaran bakal calon perseorangan akan tetap dibuka berbarengan dengan bakal calon yang akan diusung oleh Partai Politik. ”Hari ini penyerahan dukungan untuk perseorangan baik untuk Gubernur, Bupati/Walikota sudah diselesaikan di KPU. Sekarang KPU melakukan proses untuk menyimpulkan siapa saja yang bisa ke tahap selanjutnya, verifikasi administrasi ke faktual. Kalau perseorangan sudah memenuhi syarat, nanti di bulan Juni, mereka akan mendaftarkan sebagai calon bersama bakal pasangan calon yang diusung oleh Parpol. Jadi, nanti pendaftarannya dilakukan bersama,” katanya. (fin/ful) //INFOGRAFIS// ISI PASAL 71 UU NOMOR 10 TAHUN 2016: 1.Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. 2.Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. 3.Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, & kegiatan yg menguntungkan atau merugikan salah satu paslon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dlm waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan paslon sampai dengan penetapan paslon terpilih. 4.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat 3. Berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota. 5.Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. 6.Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PROSEDUR PENGGANTIAN 1.Gubernur dan/atau Plt./Pj/Pjs Gubernur mengajukan permohonan penggantian pejabat melalui layanan aplikasi sistem informasi online layanan administrasi (SIOLA) Kemendagri dan e-mutasi. 2.Bupati/Walilta dan/atau Plt./Pj/Pjs Bupati/Walikota mengajukan permohonan kepada Mendagri melalui Gubernur selaku wakil pemerintah pusat melalui layanan aplikasi sistem informasi online layanan administrasi (SIOLA) Kemendagri dan e-mutasi. 3.Gubernur menerbitkan surat pengantar beserta dokumen kelengkapan usulan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak surat permohonan penggantian pejabat di terima gubernur. 4.Dalam hal Gubernur tidak menerbitkan surat pengantar dakam jangka waktu tujuh hari kerja, maka usulan dapat diproses oleh Mendagri. Sumber: Kemendagri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: