Presiden Tak akan Terbitkan Perppu KPK
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Teka-teki nasib Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK akhirnya terjawab. Presiden Joko Widodo menegaskan tidak akan menerbitkan Perppu. Alasannya, karena masih ada proses uji materi di MK (Mahkamah Konstitusi). \"Kita melihat sekarang ini masih ada proses uji materi di MK. Kita harus menghargai proses-proses seperti itu. Jangan ada orang yang masih berproses uji materi kemudian langsung ditimpa dengan sebuah keputusan lain. Kita harus tahu sopan santun dalam bertatakenegaraan,\" tegas Jokowi dalam diskusi mingguan dengan wartawan kepresidenan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11). Hingga saat ini, sudah tiga pihak yang mengajukan uji materi ke MK terkait UU No 19 Tahun 2019 yang telah menjalani sidang. Para penggugat UU No 19 Tahun 2019 adalah 25 advokat yang juga berstatus sebagai mahasiswa pascasarjana Universitas Islam As Syafi\\\'iyah. Juga 18 mahasiswa gabungan sejumlah universitas di Indonesia. Lainnya advokat bernama Gregorius Yonathan Deowikaputra juga mengajukan uji materil dan formil atas UU KPK ke MK. Dalam permohonanya, pemohon tidak hanya mengajukan uji formil atas UU KPK hasil revisi. Tetapi juga uji materil. Menurut penggugat, ada kerugian konstitusional yang dialami oleh pihaknya atas UU KPK hasil revisi. Pasalnya, dari sisi formil, penerbitan Undang-undang ini tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bahkan cenderung melanggar prosedur. Penggugat menilai UU tersebut disahkan tidak melalui rapat paripurna yang kuorum di DPR RI. Sedangkan menurut peraturan, sebuah Undang-undang bisa disahkan jika anggota DPR yang hadir lebih dari separuh. Tetapi, dalam rapat paripurna 17 September 2019, anggota DPR yang hadir hanya 102 dari 560 orang. Oleh karenanya, UU ini dinilai bertentangan dengan konstitusi. Sementara itu, dari sisi materil, pemohon mempermasalahkan Pasal 21 ayat (1) huruf a yang mengatur tentang dewan pengawas. Pemohon menilai, adanya dewan pengawas KPK justru berpotensi menyebabkan KPK menjadi tidak independen. Terkait dewan pengawas KPK, Jokowi mengaku masih menyusun sejumlah nama. Saat ini, lanjut Jokowi, prosesnya dalam tahap memperoleh masukan siapa yang dinilai cocok duduk dalam dewan pengawas. Pasal 69A UU No. 19/2019 menyebutkan ketua dan anggota Dewan Pengawas untuk pertama kalinya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia. \"Untuk pelantikan Dewan Pengawas KPK akan dilakukan bersamaan dengan pengambilan sumpah pimpinan komisioner KPK yang baru. Nanti Desember. Hal ini sudah tercantum di dalam peraturan peralihan yang ada,\" paparnya. Jokowi menyebut tidak membuat panitia seleksi (pansel) untuk Dewan Pengawas KPK. \"Tidak lewat pansel. Tetapi, percayalah yang terpilih nanti adalah beliau-beliau yang memiliki kredibilitas yang baik,\" ungkapnya. Kehadiran Dewan Pengawas KPK di bawah Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G serta Pasal 69A, Pasal 69B, Pasal 69C, dan Pasal 69D. Anggota Dewan Pengawas KPK berjumlah lima orang. Tugasnya antara lain mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan. Berdasarkan Pasal 69 D UU No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU KPK disebutkan sebelum Dewan Pengawas KPK terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum undang-undang ini diubah. Sementara itu, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif tetap berharap kepada Presiden Jokowi dan jajaran Komisi III DPR untuk mengkaji ulang isi dari UU KPK yang baru. \"Saya berharap UU Nomor 19 Tahun 2019 apakah itu mungkin tidak direvisi. Tolong dipikirkan lagi,\" ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. Ia berpendapat, isi dari revisi tersebut masih jauh dari kata sempurna meski telah resmi berlaku sejak 17 Oktober 2019 lalu. Menurut dia, masih banyak kekurangan dalam poin-poin yang direvisi. Maka dari itu, Laode kembali meminta kepada pemerintah dan DPR untuk segera membenahi kembali revisi UU KPK. \"Tolong dipikirkan lagi supaya kemudian menemukan jalan keluar bagaimana membawa perjuangan untuk hilangkan korupsi di negara kita,\" ucapnya. Sedangkan penyidik senior KPK Novel Baswedan menilai, pihak-pihak yang menyebut revisi UU KPK sebagai upaya memperkuat lembaga antirasuah sebagai pembohongan publik serta bentuk narasi ketidakpahaman. Ia mengatakan, revisi tersebut justru melemahkan KPK ketimbang memperkuat. Apalagi, KPK sendiri kata dia telah merilis sedikitnya 26 poin yang berpotensi melemahkan lembaga antirasuah dalam UU baru tersebut. \"Kalau ada siapapun yang katakan bahwa UU Nomor 19 Tahun 2019 untuk memperkuat KPK itu ada dua. Dia sedang bohong, atau dia enggak paham dengan UU itu,\" ujar Novel di Jakarta, Jumat (1/11). Novel menjabatkan, pelemahan tersebut antara lain terkait proses penanganan perkara yang mesti seizin dewan pengawas. Ia melanjutkan, ketika petugas KPK ingin menyita barang bukti, terlebih dahulu harus mengantongi persetujuan dewan pengawas. Novel menilai, rantai birokrasi ini dapat berpotensi memperlama proses penanganan perkara. Yang lebih ditakutkan, barang bukti yang akan disita hilang. \"Belum lagi terkait penyadapan, penggeledahan juga sama,\" tuturnya. Selain itu, kode etik dewan pengawas tak diatur dalam revisi UU KPK. Hal ini menurutnya sangat bertolak belakang dengan aturan yang dikenakan pada pegawai KPK. Misalnya, kata dia, pegawai dilarang berhubungan dengan pihak yang berperkara di KPK. Namun, aturan ini tidak berlaku bagi dewan pengawas. \"Nah dewas (dewan pengawas) ini tidak diatur sama sekali artinya dewas kalau ketemu pelaku boleh enggak? yang jelas tidak dilarang,\" katanya.(riz/gw/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: