Pupuk Subsidi Langka, Petani Beralih Gunakan Racikan Pupuk Organik
MAGELANGEKSPRES.COM,KENDAL – Kelangkaan pupuk bersubsidi membuat sejumlah petani terpaksa merogoh kocek untuk membeli pupuk non subsidi. Bahkan ada dari mereka yang menggunakan racikan pupuk organik untuk mengurangi bertambahnya biaya perawatan. Semua itu dilakukan supaya tak terjadi gagal panen pada tanaman yang tengah digarapnya. Racikan pupuk organik itu seperti dilakukan oleh petani asal Desa Dempelrejo, Kecamatan Ngampel. Hal itu itu dilakukan karena tak mampu membeli pupuk non subsidi yang harganya mencapai dua kali lipat. “Racikan pupuk organik ini jadi alternatif saya. Karena pupuk non subsidi tak bisa beli,” kata Muhammad Arifin, petani yang meracik pupuk organik dari bahan sederhana tersebut. Diungkapkan, dalam racikan pupuk organik itu Ia mencampurkan bumbu penyedap rasa (micin) dengan pupuk daun seperti Hyponex,Green World Magicgrow, atau GDM pupuk organik cair. Dia percaya racikan itu dapat berfungsi untuk menyuburkan tanah, serta meningkatkan penyerapan nutrisi, dan menunjang perkembangan akar, meski sifatnya hanya sementara. “Sudah saya cobakan ke tanaman padi dan mampu tumbuh subur. Sifatnya hanya sementara untuk menambal pupuk yang kurang,” ungkapnya. Arifin mengaku tak sanggup jika harus membeli pupuk non subsidi untuk merawat beberapa bidang tanaman padinya. Sehingga diharapkannya ada langkah cepat pemerintah mengambil kebijakan untuk dapat kembali dapat memenuhi pupuk subsidi bagi petani yang terjadi kelangkaan. “Satu karungnya pupuk non subsidi Rp160.000. Padahal yang biasa sekitar Rp90.000. Yang jadi soal, tidak hanya sekali pemupukan yang jadi,” terangnya. Dampak langkanya pupuk ber subsidi juga dirasakan petani lainnya. Kini di wilayahnya Desa Putatgede Kecamatan Ngampel mengalami kesulitan terkait stok jenis SP-36 dan ZA. Padahal, dua jenis pupuk tersebut biasa digunakan dalam merawat tanaman padinya seluas 1/5 hektare. “Barangnya sulit dicari. meskipun ada harganya mahal. Padahal sangat berpengaruh pertumbuhan padi,” ucap Purwadi, petani asal desa Putatgede tersebut. Untuk mensiasati itu, pemupukan pertama Purwadi tetap menggunakan Urea, ZA, dan juga SP-36. Namun pada pemupukan tanaman tahap kedua, ia hanya mampu memupuk taman padinya dengan menggunakan urea dan NPK Phonska. Penggunaan pupuk yang tidak sesuai dari biasanya itu nampaknya berpengaruh pada hasil tanaman itu sendiri.Adapun urea dan phonska tidak bisa menggantikan peran ZA dan SP-36 dalam membentuk padi yang berisi. “Hasil panen padi bisa alami penurunan kualitas dan kuantitasnya. Bobot biji padi atau gabah kualitasnya merosot,” jelasnya. Dengan keterbatasan pupuk yang digunakan, Purwadi memprediksi hasil panenannya bisa saja turun 0,5-1 ton. Hingga kini dirinya masih berupaya mencarikan solusi agar kebutuhan nutrisi tanaman padinya tetap terpenuhi hingga panen nanti. “Ya nanti terpaksanya beli pupuk yang mahal. Penggunaanya nanti bisa secukupnya saja,” tandasnya. (lid)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: