Sektor Keuangan dalam Bahaya

Sektor Keuangan dalam Bahaya

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Kondisi sektor keuangan nasional tengah goyah. Tidak perbaikan baik pada kuartal III ini, justru semakin terpuruk. Hal ini tidak terelakkan lagi Indonesia masuk jurang resesi. Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, tidak ada perbedaan yang mencolok di kuartal II dan III. \"Tidak ada perubahan dari triwulan II hingga kuartal III. Industri tetap negatif, pertanian positif, perdagangan negatif, konsumsi tetap negatif, pertambangan negatif, dan jasa keuangan justru terpuruk,” kata Tauhid dalam video daring, kemarin (8/11). Dia menjelaskan, sektor keuangan adalah sektor terakhir dalam siklus ekonomi. Jika sektor keuangan ambruk, maka dampak yang ditimbulkan yakni ekonomi akan ikut goyah. \"Pondasi ekonomi kita adalah barisan terakhir itu jasa keuangan. Nah, kalau jasa keuangan tetap tangguh berarti dia bisa menjaga keseimbangan dari semua transaksi ekonomi yang terjadi,\\\'\\\' terangnya. Lanjut Tauhid, pertumbuhan rkedit lebih rendah dibandingkan dalam dua tahun terakhir. Bahkan rasio NPL sudah di atas 3 persen. Sementara rasio Capital Adequacy Ratio (CAR) relatif baik namun rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) justru menurun akibat meningkatnya DPK dan penurunan kredit. “Jadi menurut saya cukup bahaya di sektor keuangan ketika kondisinya begini dan kalau dalam jangka besok tidak ada perbaikan karena pasar atau demand tidak terbentuk maka umumnya perbankan akan melarikan uang membeli SBN tidak ke sektor riil,” ucapnya. Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ekonomi Indonesia di kuartal III/2020 membaik dibandingkan kuartal sebelumnya. Namun, pencapaian itu dengan konsekuensi ongkos yang lebih mahal, yakni defisit anggaran yang membesar. Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan, sepanjang Januari-September 2020 defisit anggaran mencapai Rp687,5 triliun. Defisit anggaran ini setara dengan 4,16 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Bendahara negara ini berharap pertumbuhan ekonomi tahun 2020 antara 1,7 persen hingga minus 0,6 persen. Sehingga untuk mendongkrak ekonomi di sisa tahun ini, pemerintah berkomitmen menggunakan kebijakan fiskalnya, termasuk mempercepat belanja. “Untuk menjaga ekonomi dan APBN, kami menggunakan instrumen fiksal dan bahkan bersama Bank Indonesia (BI) dengan kebijakan moneter, serta kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Itu digunakan untuk memompa ekonomi ke atas,” ujar Sri Mulyani. Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat pertumbuhan ekonomi pada kuartal III/2020 minus 3,49 persen. Dengan begitu, Indonesia resmi resesi setelah mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif sdalam dua kuartal berturut-turut. Catatan ini sesuai banyak perkiraan bahwa Indonesia akan jatuh ke lubang resesi pada kuartal ketiga. Bahkan, angka tersebut lebih tinggi dari ramalan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang minus 3 persen. (din/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: