Sosok Bersahaja yang Dalami Sejarah Jawa

Sosok Bersahaja yang Dalami Sejarah Jawa

MAGELANGEKSPRES.COM,Indonesia, khususnya Jogjakarta dan Wonosobo kehilangan sosok penulis sekaligus pendidik Otto Sukatno CR yang meninggal karena sakit di usia 55 tahun. Suami dari Wiwik Kuspitasari, dan ayah dari Anggra Agastyassa Owie dan Acatya Abbra itu tutup usia pada hari Sabtu (25/7/2020) pukul 20.15 WIB di RSIY PDHI Jogjakarta. JENAZAH Otto dimakamkan pada Ahad (16/7) pagi diberangkatkan dari Kadirojo Purwormartani, Kalasan, Sleman. Beberapa jam setelah kabar duka, ratusan mungkin hingga ribuan ucapan belasungkawa dan rasa kehilangan mendalam mengalir di posting akun Facebook Otto, yang selama hidupnya jadi sebuah medium untuk menyalurkan keresahannya dalam berbagai bentuk tulisan. Kebanyakan Otto membagikan puisi dan buah pemikiran singkatnya dalam beberapa frasa. Bagi para sahabatnya, Otto adalah seseorang yang terlampau bersahaja di era ini. Bahkan menurut salah satu karibnya, Haqqi El Anshary, Otto sering berpenampilan ‘ngglendreh’ atau kurang memperhatikan style busana. “Tahun 1991 pertama kali kenal mas Otto di teater Eska UIN Jogja, kesan pertama beliau punya gaya bicara unik dan pengetahuannya luas. Dia selain sutradara teater juga penulis naskah. Hingga saat ini buku-bukunya banyak tentang mistisisme jawa. Bahkan sepertinya sampai sekarang ijazah S1 beliau belum diambil. Kadang kalau ngobrol saat di Wonosobo sampai lek-lekan dan bahas sejarah. Terakhir katanya mau angkat tulisan tentang sejarah Medang. Meskipun dekat dengan orang-orang besar, beliau tetap sederhana dan rendah hati, kami sangat kehilangan,” ungkap Haqqi. Selain mengajar di ISI Jogjakarta, Otto juga aktif menulis hingga puluhan (21) judul buku dengan berbagai tema, baik religious maupun sejarah maupun mengangkat mistisisme jawa. Salah satu bukunya tentang Wonosobo yang cukup fenomenal adalah Dieng Poros Dunia dan Mata Air Peradaban yang disusun bersama mantan bupati Kholiq Arief. Di kalangan rekan-rekannya Otto dijuluki Ki Ageng Selokan Mataram karena tempat tinggalnya dekat dengan Selokan Mataram sekaligus karena kedalaman ilmunya dalam menelisik sejarah Jawa. “Beliau itu seniman dan sejarawan yang selalu ingin mengajak semua orang membuka masa lalu dengan nafas keberanian. Tanpa keraguan membedah jengkal demi jengkat sejarah dari segala sudut sisi pandang. Masa lalu yang ditulisnya sekarang menjadikannya abadi,” tutur Dwi Putranto Bimo Sasongko, sahabatnya sekaligus pustakawan dinas Arpusda. Otto lahir di Karanganyar, Solo, 3 Oktober l965 dan Alumni  Fakultas Ushuluddin  IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (l993) dan menjadi Pengajar (tidak tetap) di FSP ISI Yogyakarta. Di saat kuliah, aktif di  teater serta jadi Ketua dan Sutradara Teater ESKA dan sudah aktif menulis sejak tahun 1987. “Mas Otto merupakan penulis dan peneliti produktif. Deretan buku terbit dari buah pikiranya. Salah satu karyanya Dieng Poros Dunia. Selamat jalan mas Otto. Karyamu abadi. Semoga khusnul hotimah, mendaki jejak peta menuju Surga,” tutur Sumali Ibnu Chamid, sahabat Otto sekaligus mantan jurnalis Jawapos. Posting terakhir Otto di laman Facebooknya sebelum meninggal tercatat pada pukul 15.15 WIB dengan sajak singkat bertajuk “Inspirasi dari Kahanan” yang berisi empat baris puisi. Di kepala siapa mahkota di tempatkan? mungkin di kepala ular sanca, kobra atau binatang melata. sambil menyemburkan bisa dan mengincar mangsa! (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: