Tak Ada Tawar Menawar di Natuna , UNWCI Minta Presiden Mendeklarasikan Perang Terhadap China
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Tensi hubungan diplomatik Indonesia dengan China dalam beberapa hari terakhir memanas. Ini setelah sejumlah kapal nelayan China berada di Perairan Natuna, Kepulauan Riau (Kepri). Presiden Joko Widodo menegaskan tidak ada tawar-menawar terkait mengenai kedaulatan NKRI di teritorial Natuna. Sejumlah kapal berbendera China masih bertahan sambil melakukan penangkapan ikan yang berjarak sekitar 130 mil dari perairan Ranai, Natuna. Terlebih, kapal-kapal nelayan itu dikawal oleh coast guard China. TNI AL mengerahkan delapan Kapal Republik Indonesia (KRI) untuk berpatroli mengawasi kapal asing tersebut. “Tidak ada tawar-menawar. Ini mengenai kedaulatan negara kita,” tegas Jokowi saat membuka Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara Jakarta, Senin (6/1). Jokowi mengapresiasi seluruh pernyataan yang disampaikan jajarannya terkait persoalan pelanggaran kedaulatan tersebut. “Saya kira, seluruh statement yang disampaikan oleh para menteri sudah sangat baik,” imbuhnya. Hal senada juga disampaikan Menlu Retno Marsudi. Menurutnya, Indonesia tidak akan pernah mengakui klaim China atas perairan Natuna. \"Terkait nine dash line yang diklaim Tiongkok, sampai kapan pun Indonesia tidak akan mengakuinya. Apa yang disampaikan Presiden bukan hal yang harus dikompromikan. Karena sudah jelas hak berdaulat kita,\" terang Retno. Seperti diketahui, Indonesia dan China merupakan anggota Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut disingkat UNCLOS. Indonesia, lanjut Retno, berharap China mematuhi aturan yang sudah disepakati bersama. \"Antara lain mengatur masalah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif, Red) dan lain sebagainya. Sehingga ZEE penarikan garis yang terkait ZEE Indonesia sudah sesuai. Kita hanya ingin Tiongkok mematuhi hukum internasional, termasuk di UNCLOS,\" papar Retno. Upaya diplomasi terus dilakukan kedua negara. Dia optimistis akan didukung dunia internasional. China mengklaim berhak atas Natuna. China menampik putusan pengadilan internasional tentang klaim 9 Garis Putus-putus (nine dash line) di Laut China Selatan sebagai batas teritorial laut China tidak mempunyai dasar historis. Hingga Senin (6/1), japal-kapal penangkap ikan berbendera China itu masih berada di kawasan ZEE perairan Natuna utara. Ada 5 KRI yang bertugas mengawasi pergerakan kapal-kapal China tersebut. Yakni KRI Usman Harun 359, KRI John Lie 358, KRI Tjiptadi 381, KRI Teuku Umar 385, dan KRI Karel Satsuit Tubun 356. Indonesia mengambil ancang-ancang menambah kekuatan di Natuna. Pintu negosiasi tertutup rapat karena Indonesia punya pijakan yang kuat. Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Pangkogabwilhan I) Laksamana Madya TNI Yudo Margono menyebut kapal nelayan China ternyata menggunakan pukat harimau untuk menangkap ikan di perairan Natuna. \"Padahal, pukat harimau di Indonesia dilarang oleh pemerintah melalui peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015. Namun, kapal ikan itu dikawal dua kapal penjaga pantai dan satu kapal pengawas perikanan China,\" papar Yudo. Terpisah, Direktur Indonesian Club Founder of the National Campaign Secretariat UNWCI (United Nations World Citizen\\\'s Initiative Indonesia) Hartsa Mashirul mendesak pemerintah Republik Rakyat China (RRC) segera memberikan klarifikasi dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia terkait dengan persoalan di perairan Natuna. Menurutnya, China yang melakukan klaim sepihak atas perairan Natuna jelas-jelas bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982. Hal ini, lanjutnya, dapat mengacaukan perdamaian regional Pasifik maupun perdamaian dunia. \"Pemerintah RRC harus segera klarifikasi dan meminta maaf kepada rakyat Indonesia dan dunia,\" imbuhnya. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang berdaulat. Sehingga klaim sepihak China adalah tindakan yang tidak menghormati kedaulatan RI maupun kesepakatan Hukum Laut Internasional yang berlaku. \"Tidak ada toleransi dalam pencaplokan sejengkal pun wilayah kedaulatan Indonesia oleh negara lain,\" tukasnya. PIhaknya pihaknya menuntut tiga hal sebagai Tri Komando Rakyat (Trikora) kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Pertama, UNWCI mendesak Presiden sebagai panglima tertinggi untuk mendeklarasikan perang kepada setiap musuh yang hendak mencaplok wilayah kedaulatan RI. Kedua, mendesak Menteri Pertahanan untuk melindungi wilayah kedaulatan RI. Ketiga, meminta jajaran TNI-Polri untuk melaksanakan amanat Konstitusi UUD 1945 tentang Pertahanan Rakyat Semesta.(rh/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: