Tak Putus Asa Didera Kusta, Amat Suryadi Gigih Berkarya Demi Keluarga

Tak Putus Asa Didera Kusta, Amat Suryadi Gigih Berkarya Demi Keluarga

MAGELANGEKSPRES.COM, PURWOREJO - Ujian hidup berupa sakit kerap membuat putus asa. Apalagi, jika dialami dalam kurun waktu lama. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Amat Suryadi (42) yang tinggal bersama anak dan istrinya di Dusun Rimun Lor RT 02 RW 02 Desa Rimun Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo. Meski mengalami keterbatasan fisik akibat didera penyakit Kusta, ia tetap semangat berkarya. Menekuni sejumlah profesi dan tak ingin bergantung bantuan demi menghidupi keluarga. Terik matahari nyaris tepat di atas kepala, Jumat (7/5) siang. Amat Suryadi menyahut sepasang kruk (alat bantu berjalan, red) yang tersandar di ruang depan rumah sederhananya. Sejenak berwudhu di kamar mandi, dipakainya sarung dan peci, lalu bergegas menuju halaman. Seolah tak ingin tertinggal azan berkumandang pertanda Salat Jumat dimulai, cepat-cepat ditancapnya gas sepeda motor roda 3 rakitan khusus disabilitas. Menyusuri ruas jalan berkelok-kelok dan naik-turun perbukitan sekitar 500 meter, ditujunya Masjid Baitush Shomad. Ibadah pun dijalani dengan khusyuk bersama jamaah lain. Usai salat Jumat, Amat tak duduk-duduk di serambi masjid. Ia langsung menaiki motor untuk kembali ke rumah. Meski sedang puasa, tampak tak kurang energinya. Sejenak istirahat, Amat menemui sang istri, Maryam (42), yang sudah siap untuk mengemasi makanan tradisional peyek secara manual. Jari-jemari kaki dan tangannya yang tak utuh langsung diajaknya bekerja. Dibantu anak perempuannya yang masih kelas 4 SD, Amat mengecek satu per satu bungkusan peyek dan menatanya untuk dijual . “Ini yang memproduksi istri saya dan saya bagian menjual,” kata Amat saat ditemui Purworejo Ekspres. Ya, itulah sekilas aktivitas rutin yang dijalani Amat bersama bersama sang istri. Memproduksi peyek, lalu menjualnya dari warung ke warung dengan harga Rp4 ribu sampai Rp5 ribu per bungus. Dengan sepeda motor tuanya, setiap hari Amat bisa keliling hingga berbagai pelosok desa di Purworejo. “Alhamdulillah sekarang sudah banyak yang langganan dan jangkauan pemasarannya sudah meluas. Bulan puasa ini saja kita sudah habis sekitar 390 bungkus,” sebutnya sambil menampilkan keramahan. Amat tampak seperti sosok yang humoris dan periang. Begitu pula saat diajak berbincang dengan Purworejo Ekspres dan Relawan Kawan Difabel selaku Pendamping Ikatan Disabilitas Purworejo (IDP), Erfina Cahyanti, yang hari itu berkunjung untuk memberikan bantuan. Raut wajahnya tampak tak sedih ketika mulai bercerita tentang hilangnya jari-jari tangan dan kakinya hingga mengalami kelumpuhan akibat keganasan Kusta. “Dulu sejak tahun 2000 saya dan anak istri merantau ke Riau Sumatera, kerja di perkebunan kelapa hibrida. Nah, tahun 2005, tiba-tiba badan saya itu rasanya panas seperti disengat hewan,” kisahnya. Dari situlah, ia mulai berobat ke mana-mana. Namun, pengobatan medis dan alternatif yang ditempuh hingga tahun 2007, nihil hasil. Ia pun memustuskan pulang kampung. Kembali ke tanah kelahiran dan melanjutkan pengobatan. “Sambil berobat saya juga berusaha membangun gubuk sederhana sebagai tempat tinggal,” sambungnya. Sampai tahun 2015, kondisi tubuh tak kunjung membaik. Justru makin parah hingga kakinya tak mampu menopang tubuh. Rambut kepalanya rontok, kulit sekujur tubuh mengelupas. Beruntung ia bertemu dengan seorang ulama pengasuh pondok pesantren di wilayah Kelurahan Kledung Kradenan Kecamatan Banyuurip. Selain mendapat ramuan tradisional, ia juga didoakan agar menemui jalan kesembuhan. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Amat didatangi Ketua IDP saat itu, Simponiarto bersama Erfina Cahyanti . Setelah disurvei, ternyata penyakit Amat mengarah ke Kusta. “Lalu dilaporkan ke Dinas Kesehatan. Dari Puskesmas saya dirujuk ke RUSD dan baru itu saya divonis mengidap Kusta,” ujar Amat. Setahun menjalani pengobatan, tahun 2018 Amat dinyatakan sembuh. IDP pun mengajaknya untuk bergabung dan membekali pelatihan produksi peyek. “Tahun 2019 saya ikut pelatihan buat peyek itu sebenarnya untuk ibu-ibu. Resepnya saya catat lalu saya bawa pulang. Ternyata istri bisa dan mau produksi sampai sekarang,” jelasnya. Sembari memproduksi peyek berlabel “Spesial Peyek GURIH Disabilitas Pak Yadi”, Amat juga menekuni profesi lain, yakni tukang cap piring dan keliling serta tukang cukur. Hingga kini, dua profesi itu masih jalan. Keadaan berangsur membaik, sampai akhir tahun 2019 keluarganya bisa memiliki rumah layak huni bantuan RTLH. Produksi peyek juga kian lancar sejak mampu membeli sepeda motor rakitan pada tahun 2020. Amat mengaku bersyukur. Meski fisiknya terbatas, masih mampu berkarya untuk menghidupi keluarga. “Waktu itu saya bisa cepat bangkit karena melihat anak-anak yang masih kecil. Saya ingin mereka punya masa depan yang baik,” ucapnya. Amat mengaku tidak alergi terhadap bantuan. Selain RTLH, keluarganya juga mendapat bantuan rutin pemerintah berupa PKH. Namun, ia tetap tak ingin bergantung bantuan. Tetap harus berkarya selayaknya kepala keluarga. “Kalau ada yang memberi bantuan ya tetap kami terima karena itu kan rezeki dari Allah SWT. Tapi saya tidak ingin bergantung bantuan dan menjadi tanggungan keluarga, apalagi sampai meminta-meminta,” ungkapnya. Keyakinan bahwa Tuhan menjamin rezeki semua hambanya juga terpatri dalam diri Amat. Karena itulah, ia tak pernah khawatir soal rezeki. Ia hanya berdoa diberi umur bermanfaat dan usahanya terus berkembang. “Allah memberikan ujian sakit seperti ini juga pasti ada hikmahnya. Sekarang saya tinggal bersama istri dan anak yang kecil, anak pertama yang laki-laki Alhamdulillah sudah kerja di Jogja,” pungkasnya. Erfina Cahyanti menjadi salah satu saksi kegigihan Amat dan keluarga. Bahkan menurutnya, kebangkitan Amat pasca divonis Kusta, sangat cepat. “Kemandirian Pak Amat ini sangat memotivasi teman-teman IDP lain yang mengalami keterbatasan,” kata Erfina. Kondisi Amat tak pernah menjadi beban sang istri, Maryam. Hal itu terbukti keduanya mengaku tak pernah mengalami konflik serius rumah tangga. Maryam juga mengaku tak pernah malu. “Alhamdulillah tetangga-tetanggga di lingkungan sini tidak ada yang menjauhi, justru sering membantu dan memberi motivasi. Tidak ada yang takut membeli peyek kami. Sampai sekarang juga masih banyak yang menggunakan jasa cukur dan ngecap piring,” akunya. Maryam bersyukur, sejak awal suaminya divonis Kusta, justru banyak pihak memberikan kepedulian. Sosialisasi terkait penyakit Kusta gencar dilakukan IDP bersama dinas terkait. “Kusta ini tidak menular kalau sudah sembuh atau kalau sudah minum obatnya. Alhamdulillah sampai sekarang masyarakat bisa menerima,” pungkas Maryam. (*) (EKO SUTOPO, Purworejo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: