UU Pilkada Direvisi, Calon Blusukan Paling Disukai Publik
MAGELANGEKSPRES.COM,Publik masih menyukai karakter calon pemimpin atau calon presiden (Capres) yang rajin blusukan atau melakukan kegiatan memasuki tempat-tempat tertentu untuk mengetahui kondisi masyarakat. Kebiasan ini meski pun hanya sebatas seremoni tapi memantik hal positif. Kebiasaan blusukan ini dipaparkan lewat hasil survei proyeksi politik 2024 yang dilakukan dua lembaga survei politik yaitu Politika Research and Consulting (PRC) dan Parameter Politik Indonesia (PPI) disukai responden sebanyak 45,2 persen, disusul kemudian dengan kemampuan cepat-tanggap dalam mengatasi permasalahan darurat sebanyak 29,7 persen. Selain dari faktor kebiasaan, survei juga membuktikan bahwa mayoritas publik masih memilih capres berdasarkan sifat dan kepribadiannya. Sifat dan kepribadian yang paling disukai oleh publik adalah jujur dan antikorupsi (50,7 persen), serta tegas dan berani dalam mengambil tindakan (16,9 persen). Sifat dan kepribadian itu disukai karena publik menyukai pemimpin yang moralnya baik. Kriteria pemimpin yang bermoral baik menurut responden adalah pemimpin yang jujur (38,4 persen) dan bertanggung jawab (31,9 persen). ”Jadi blusukan seperti yang dilakukan oleh para pemimpin kita itu jauh lebih disukai ketimbang yang lainnya. Dan banyak juga pemimpin-pemimpin yang hanya populer di udara, tapi elektabilitasnya dia tidak berkaki, karena jarang turun ke masyarakat,” terang Direktur Eksekutif PPI Adi Prayitno di Jakarta, Minggu (23/2). Ditambahkan Adi, masyarakat suka dengan pemimpin yang mau berinteraksi dengan masyarakat. Apalagi pemimpin tersebut senantiasa menyapa dan menghibur suasana hati masyarakat yang dilanda kesusahan dalam hidupnya. Pada kriteria lainnya, Adi mengatakan bahwa responden menekankan aspek keagamaan dalam memilih Capres-Cawapres, namun tidak menekankan aspek kesukuan. Pada aspek keagamaan, responden menginginkan pasangan Capres muslim-Cawapres Muslim (68,2 persen). Sedangkan pada aspek kesukuan, responden tidak menekankan pada suku tertentu. ”Sebanyak 60,8 persen menyatakan bahwa Capres-Cawapres boleh berlatar belakang dari suku manapun,” terangnya. Dalam survei tersebut masyarakat juga tidak menghendaki pemilu digelar serentak untuk memilih presiden dan legislatif sebagaimana yang pernah dilakukan pada 2019 lalu. ”Masyarakat responden kami di bawah itu menginginkan Pileg dan Pilpres itu untuk dipisah. Jadi ini juga menjadi masukan partai politik, bahwa masyarakat yang menginginkan Pileg dan Pilpres itu dipisah presentasenya di angka 56,4 persen,\" terang Adi Prayitno. Alasan responden sederhana, hanya karena merasa infrastruktur politik di Indonesia yang menunjang untuk kedua pemilihan itu dilaksanakan serentak masih belum maksimal. ”Banyaknya kasus petugas pemilu yang meninggal dunia juga menjadi catatan penting masyarakat yang menginginkan supaya kedua pemilihan itu dilaksanakan terpisah,” jelasnya. Akan tetapi tentu harus dipikirkan secara seksama bagaimana proyeksi pemilu 2024 tidak membuat catatan-catatan buruk dari masyarakat itu kembali terulang. Kendati mayoritas masyarakat memilih kedua pemilihan itu dilaksanakan dipisah, ada 36,8 persen masyarakat yang masih menganggap Pileg dan Pilpres serentak masih baik untuk dilakukan karena dapat mengefisienkan waktu politik hadir di tengah masyarakat. Penggabungan kedua pemilihan itu juga dianggap dapat mengefisienkan penggunaan anggaran. Efisiensi tersebut, kata dia, sejalan dengan harapan publik untuk mewujudkan Indonesia maju dan makmur dalam setiap penyelenggaraan pemilu yang presentasenya mencapai 70,5 persen. ”Harapan publik dalam setiap pemilu pasti bagaimana Indonesia itu maju, makmur, adil, dan mampu menciptakan lapangan kerja. Itu pasti selalu menjadi kriteria dan preferensi utama bagaimana harapan adanya pemilu,\" ujar dia. Harapan publik tadi, menurut dia, tidak akan dirasakan lagi apabila politik selalu hadir mengisi obrolan di tengah masyarakat melalui Pemilu. ”Capek juga kalau politik ini selalu hadir di tengah mereka. Sementara kebutuhan ekonomi Indonesia maju yang terus mereka harapkan,” kata dia. Selain Pemilu yang tidak berbarengan dengan Pilpres, masyarakat berharap model Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung bergeser menjadi demokrasi berbayar bakal berdampak buruk terhadap demokrasi di Indonesia. Efeknya, jeratan hukum bagi kepala daerah terpilih tak bisa terhindarkan. Alasannya sederhana, mereka akan menggali sumber pendapatan ”haram” untuk mengembalikan modal yang telah disalurkan. Pernyataan ini ditegaskan Pengamat Hukum dan Tata Negara Yusdiyanto Alam, merespon pertemuan Mendagri Tito Karnavian dengan sejumlah praktisi dari 10 Univeristas dari berbagai daerah pekan lalu. ”Problematika Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 jelas berdampak pada penyelenggaraan Pilkada 2020. Karena memberikan beban berat kepada calon sampai terpilih sebagai kepala daerah. Ini akibat beban biaya politik yang harus ditanggung oleh kepala daerah terpilih,” papar Yusdiyanto kepada Fajar Indonesia Network (FIN). Beban tersebut muncul dari kebutuhan partai dan ekspektasi masyarakat. ”Hal ini menjadi aneh, Pilkada dengan biaya yang besar hanya untuk memenjarakan para kepala daerah yang baru dilantik. Hal ini tidak seimbang dengan biaya pilkada yang telah dikeluarkan. Coba saja Anda hitung. Ini catatan eksaminasi saya,” terang. Yusdiyanto pun memberikan contoh berulangnya Operasi Tangkap Tangan (OOT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi di Lampung. ”Dapat dipastikan perilaku korupsi yang serupa itu terjadi di 15 kab/kota di Lampung dan merembet ke daerah lain. Rata-rata yang ditangkap oleh KPK merupakan orang-orang terpilih dan telah melalui uji publik. Baik secara kompetensi, integritas dan berpendidikan yang lebih baik. Hal ini diduga dari efek dari modal pilkada yang besar,” terangnya. Dari catatan yang ada isu Pilkada yang kerap muncul lebih disebabkan karena beberapa hal. Dari multi tafsir atas UU dan peraturan pilkada/pemilu, sengketa gugatan PTUN atas peraturan Pilkada sampai SDM penyelenggara yang kurang kompeten. Kompleksnya tiga hal tersebu makin diperparah dengan ketergantungan kredibilitas dan indepedensi penyelenggara, belum lagi permasalahan di perbatasan, pedalaman, kepulauan dan mobilisasi pemilih. ”Problem lain yang akan muncul, rendahnya partisipasi masyarakat, soal kampanye dari masa tenang dan pemungutan suara hingga penetapan calon terpilih. Dan pastinya publik akan disuguhkan dengan persoalan sengketa dari administrasi, pidana, mahkamah konstitusi,” terang doktor jebolan Universitas Padjajaran itu. Persoalan akan kembali muncul dengan kosep pendistribusian logistik yang selama ini tidak terencana dan terukur termasuk terganggunya pendistribusian akibat kerawanan dan sulitnya kondisi geografis. ”Jika boleh saran, pemerintah (DPR dan Presiden. Red) harus segera merevisi Undang-Undang Pilkada. Karena secara Umum UU Pilkada tersebut hanya meletakkan pada demokrasi prosedural dengan mengabaikan demokrasi subtansial,” paparnya. (fin/ful)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: